Sabuk Inten Kinatah Kamarogan" 18 barang. Keris Nogo Sosro Sabuk Inten Luk 11 Kinatah Kamarogan Kamardikan Istimewa Garap Alusan. Rp4.111.000. Solo. Pusaka Keris. Keris Nogo Sosro Sabuk Inten Luk 11 Kinatah Kamarogan Kamardikan. Rp3.250.000. Sukoharjo. griya jawi antik.
NOGOSOSROdan SABUK INTEN JILID 2 KARYA SH MINTARDJA BAGIAN 1 Mendengar jawaban itu, mendadak tangis Nyi Wirasaba terputus karena terkejut. Ia tidak begitu mengerti maksud jawaban suaminya, dan
BeliProduk Nogososro Sabuk Inten Jilid 1 Berkualitas Dengan Harga Murah dari Berbagai Pelapak di Indonesia. Tersedia Gratis Ongkir Pengiriman Sampai di Hari yang Sama.
BeliProduk Keris Nogososro Sabuk Inten Kinatah Berkualitas Dengan Harga Murah dari Berbagai Pelapak di Indonesia. Tersedia Gratis Ongkir Pengiriman Sampai di Hari yang Sama.
Date 2005-10-27 03:38:51 Sadarta : Pingin baca lagi Nagasasra sabuk inten. Dan mungkin info2 lain dari gajahsora.com. Peluang bisnis? Date: 2006-03-15 12:56:20Bambang Bramono ( bbtribram@ no homepage) wrote: Terima kasih telah memuaskan saya dengan membaca Nagasasra Sabuk Inten, paling tidak bisa memberi gambaran sifat kasatria dan
Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd Nợ Xấu. FilterFashion PriaAksesoris PriaPakaian Adat PriaKesehatanLainnyaPerlengkapan MedisMasukkan Kata KunciTekan enter untuk tambah kata 167 produk untuk "sabuk inten nogososro" 1 - 60 dari 167UrutkanAdCOWATHER Pria Gesper Otomatis Dua Lapisan Sabuk Kulit sapi 50 rbTangerang SelatanCowather Official 100+AdSabuk Gesper Ikat Pinggang Army Belt Webbing Canvas Polos Pria 2%Dilayani TokopediaMang Jajang 5 rb+AdSabuk Tanpa Pengait IMPORT QUALITY Ikat Pinggang Pria gesper Elastis - 1%Jakarta 40+AdProduk TerbaruIKAT PINGGANG PRIA LV0068 MIROR UtaraSUPER ROYALE BRANDEDAdIKAT PINGGANG SABUK PRIA TUMI REVERSIBEL KULIT TangerangMIROR 7Keris Nagasasra Nogososro Sabuk Inten Luk 11 Kinatah Kamarogan KaranganyarKoleksi Pusaka Dan Keris421 Sabuk Nogososro Paket Inten HENS Terbaru Petelur Serbuk 1Keris Nogososro Sabuk KaranganyarSejarah BudayaSBP Nogososro untuk Ternak Pola Nogososro Sabuk UtaraIstabel LimnaKeris Nogososro sabuk inten Luk Karanganyarkoleksibendaantik
Nogo Sosro Sabuk Inten Jilid 2 is a popular Indonesian folklore that tells the story of a young boy named Sosro who embarks on a journey to find the mystical Sabuk Inten. This tale is a continuation of the first volume and is beloved by many Indonesians for its exciting plot and moral lessons. In this article, we will dive into the world of Nogo Sosro Sabuk Inten Jilid 2 and explore its themes, characters, and significance in Indonesian culture. The Journey Continues In this second volume of the Nogo Sosro Sabuk Inten tale, we follow Sosro as he continues his quest to find the Sabuk Inten. Along the way, he faces new challenges and meets new characters who help him on his journey. One of these characters is a wise old man named Ki Demang, who teaches Sosro valuable lessons about life and the importance of perseverance. As Sosro travels through different villages and landscapes, he learns about the diversity of Indonesian culture and encounters various mythical creatures, such as the legendary bird Garuda and the demon Rangda. Through his adventures, Sosro gains wisdom and courage, and ultimately finds the Sabuk Inten. The story of Sosro’s journey is not only an exciting adventure but also a reflection of the values and beliefs of Indonesian society. The tale emphasizes the importance of determination, humility, and respect for others. It also highlights the idea that one’s journey in life is full of challenges and obstacles, but with perseverance and a positive attitude, one can overcome these difficulties and achieve their goals. The Significance of Nogo Sosro Sabuk Inten Jilid 2 Nogo Sosro Sabuk Inten Jilid 2 is not only a beloved folktale but also an important part of Indonesian culture. The story has been passed down from generation to generation and is often used as a tool for teaching children about morality and cultural values. The tale also has a significant role in Indonesian performing arts, such as traditional dance and theater. Many dance performances and plays have been based on the Nogo Sosro Sabuk Inten tale, and it continues to inspire creativity and artistic expression in Indonesian culture. Moreover, the story also has political significance in Indonesia. During the Indonesian independence movement in the early 20th century, the tale was used as a symbol of resistance against Dutch colonialism. The character of Sosro, who represents the Indonesian people, was seen as a hero who fought against oppression and injustice. The Lessons of Nogo Sosro Sabuk Inten Jilid 2 One of the main themes of Nogo Sosro Sabuk Inten Jilid 2 is the importance of perseverance and determination. Sosro’s journey is full of obstacles and challenges, but he never gives up and continues to push forward. This message is particularly relevant in today’s world, where many people face difficult times and need to stay strong and resilient. Another important lesson of the tale is the value of humility and respect for others. Sosro learns to appreciate the diversity of Indonesian culture and recognizes the importance of treating others with kindness and dignity. This message is especially relevant in today’s globalized world, where people from different cultures and backgrounds interact with each other on a daily basis. Finally, Nogo Sosro Sabuk Inten Jilid 2 teaches us about the power of storytelling and the role of folklore in shaping our cultural identity. The tale is a reminder of the richness and diversity of Indonesian culture and the importance of preserving and passing down our traditional stories to future generations. Navigasi pos Nitrobenzena adalah senyawa organik yang banyak digunakan dalam industri kimia. Senyawa ini digunakan sebagai bahan baku dalam produksi berbagai produk… Apakah kamu tahu berapa banyak huruf hijaiyah yang ada? Huruf hijaiyah merupakan huruf arab yang digunakan dalam penulisan bahasa arab…
FilterFashion PriaAksesoris PriaTas PriaKesehatanObat - ObatanLainnyaRumah TanggaFurnitureIbu & BayiMasukkan Kata KunciTekan enter untuk tambah kata 167 produk untuk "nogososro sabuk inten" 1 - 60 dari 167UrutkanAdCOWATHER Pria Gesper Otomatis Dua Lapisan Sabuk Kulit sapi 50 rbTangerang SelatanCowather Official 100+AdSabuk Gesper Ikat Pinggang Army Belt Webbing Canvas Polos Pria 2%Dilayani TokopediaMang Jajang 5 rb+AdSabuk Tanpa Pengait IMPORT QUALITY Ikat Pinggang Pria gesper Elastis - 1%Jakarta 40+AdCowather Ikat Pinggang Pria Canvas Sabuk Bahan Nylon Basic CW-03 - Putih, 50 rbTangerang SelatanCowather Official 250+AdProduk TerbaruIKAT PINGGANG PRIA LV0068 MIROR UtaraSUPER ROYALE BRANDEDKeris Nagasasra Nogososro Sabuk Inten Luk 11 Kinatah Kamarogan KaranganyarKoleksi Pusaka Dan Keris421 Sabuk Nogososro Paket Inten HENS Terbaru Petelur Serbuk 1Keris Nogososro Sabuk KaranganyarSejarah BudayaSBP Nogososro untuk Ternak Pola Nogososro Sabuk UtaraIstabel LimnaKeris Nogososro sabuk inten Luk Karanganyarkoleksibendaantik
Jilid 01AWAN yang hitam pekat bergulung-gulung di langit seperti lumpur yang diaduk dan kemudian dihanyutkan oleh banjir, sehingga malam gelap itu menjadi semakin hitam. Sehitam suasana Kerajaan Demak pada waktu itu, dimana terjadi perebutan pengaruh antara Wali pendukung kerajaan Demak dengan Syeh Siti itu sedemikian meruncingnya sehingga terpaksa diselesaikan dengan pertumpahan Siti Jenar dilenyapkan, disusul dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga yang juga disebut Ki Ageng Pengging. Ki Kebo Kenanga ini meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet. Karena dibesarkan oleh Nyai Ageng Tingkir, kemudian Mas Karebet juga disebut Jaka Tingkir inilah yang kemudian akan menjadi raja, menggantikan Sultan Trenggana. Jaka Tingkir pula yang memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke masa yang demikian, tersebutlah seorang saudara muda seperguruan dari Ki Ageng Pengging yang bernama Mahesa Jenar. Karena keadaan sangat memaksa, Jaka Tingkir pergi meninggalkan kampung halaman, sawah, ladang, serta wajah-wajah yang dicintainya. Ia merantau, untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tak bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan dirinya kepada Negara sebagai seorang prajurit. Tetapi karena masalah perbedaan ajaran tentang kepercayaan, yang telah menimbulkan beberapa korban, ia terpaksa mengundurkan diri, meskipun kesetiannya kepada Demak tidak juga dengan bekal kepercayaan kepada diri sendiri serta kepercayaan kepada Allah SWT, Mahesa Jenar mencari daerah baru yang tidak ada lagi persoalan mereka yang berbeda pendapat mengenai pelaksanaan ibadah untuk menyembah Sang Jenar adalah bekas seorang prajurit pilihan, pengawal raja. Ia bertubuh tegap kekar, berdada bidang. Sepasang tangannya amat kokoh, begitu mahir mempermainkan segala macam senjata, bahkan benda apapun yang dipegangnya. Sepasang matanya yang dalam memancar dengan tajam sebagai pernyataan keteguhan hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya tampak bening dan adalah kawan bermain Ki Ageng Sela pada masa kanak-kanaknya. Ki Ageng Sela inilah yang kemudian menjadi salah seorang guru dari Mas Karebet, yang juga disebut Jaka Tingkir, sebelum menduduki tahta mereka bukan berasal dari satu perguruan, tetapi karena persahabatan mereka yang karib, maka seringkali mereka berdua tampak berlatih bersama. Saling memberi dan menerima atas izin guru mereka masing-masing. Gerak Mahesa Jenar sedikit kalah cekatan dibanding dengan Sela yang menurut cerita adalah cucu seorang bidadari yang bernama Nawangwulan. Betapa gesitnya tangan Ki Ageng Sela, sampai orang percaya bahwa ia mampu menangkap petir. Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh dan kuat. Dengan gerak yang sederhana, apabila dikehendaki ia mampu membelah batu sebesar kepala kerbau dengan tangannya. Apalagi kalau ia sengaja memusatkan malam yang kelam itu Mahesa Jenar mulai dengan perjalanannya dari rumah almarhum kakak seperguruannya, Ki Kebo Kenanga di Pengging. Ia sengaja menghindarkan diri dari pengamatan orang. Mula-mula Mahesa Jenar berjalan ke arah selatan dengan menanggalkan pakaian keprajuritan, dan kemudian membelok ke arah matahari beberapa hari berjalan, sampailah Mahesa Jenar di suatu perbukitan yang terkenal sebagai bekas kerajaan seorang raksasa bernama Prabu Baka, sehingga perbukitan itu kemudian dikenal dengan nama Pegunungan Baka. Salah satu puncak dari perbukitan ini, yang bernama Gunung Ijo, adalah daerah yang sering dikunjungi orang untuk menyepi. Di sinilah dahulu Prabu Baka bertapa sampai diketemukan seorang gadis yang tersesat ke puncak Gunung Ijo gadis itu akan dimakannya, tetapi niat itu diurungkan karena pesona kecantikannya. Bahkan gadis itu kemudian diambilnya menjadi permaisuri, ketika ia kemudian dapat menguasai kerajaan Prambanan. Gadis cantik itulah yang kemudian dikenal dengan nama Roro karena kecantikannya pula Roro Jonggrang oleh Bandung Bandawasa, yang juga ingin memperistrinya setelah berhasil membunuh Prabu Baka, disumpah menjadi patung batu. Candi tempat patung itu lah yang kemudian terkenal dengan nama Candi pada saat Mahesa Jenar menginjakkan kakinya di puncak bukit itu terasalah sesuatu yang tak wajar. Beberapa waktu yang lalu ia pernah mengunjungi daerah ini. Tetapi sekarang alangkah bedanya. Tempat ini tidak lagi sebersih beberapa waktu berselang. Rumput-rumput liar tumbuh di yang lebih mengejutkannya lagi, adalah ketika dilihatnya kerangka manusia. Melihat kerangka manusia itu hati Mahesa Jenar menjadi tidak enak. Ia menjadi sangat berhati-hati karenanya. Tetapi ia menjadi tertarik untuk mengetahui keadaan di sekitar tempat itu. Ia menjadi semakin tertarik lagi ketika dilihatnya tidak jauh dari tempat itu terdapat beberapa macam benda alat minum dan batu-batu yang diatur sebagai sebuah tempat pemujaan. Dan di atasnya terdapat pula sebuah kerangka Jenar pernah belajar dalam pelajaran tata berkelahi mengenai beberapa hal tentang tubuh manusia. Itulah sebabnya maka ia dapat menduga bahwa rangka-rangka itu adalah rangka perempuan yang tidak tampak adanya tanda-tanda ia dapat menebak, bahwa beberapa waktu berselang telah terjadi suatu upacara aneh di atas bukit ini. Tetapi ia tidak tahu macam upacara itu. Untuk mengetahui hal itu, ia mengharap mendapat keterangan dari penduduk sekitarnya. Tetapi Mahesa Jenar menjadi kecewa ketika ia melayangkan pandangannya ke sekitar bukit itu. Tadi ia sama sekali tidak memperhatikan bahwa tanah-tanah pategalan telah berubah menjadi sudah beberapa waktu tanah-tanah itu tidak lagi ia sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkan keterangan lebih banyak lagi tentang kerangka-kerangka tersebut, maka dengan pertanyaan-pertanyaan yang berputar- putar dikepalanya, Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya ke barat, menuruni lembah dan mendaki tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di atas puncak pusat kerajaan Prabu atas bukit itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di dataran sekitarnya. Di sebelah utara tampaklah kumpulan candi yang terkenal itu, yaitu Candi Jonggrang. Sempat juga Mahesa Jenar mengagumi karya yang telah menghasilkan candi-candi cerita, candi-candi yang berjumlah itu adalah hasil kerja Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam saja, untuk memenuhi permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung Bandawasa akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat curang. Maka marahlah Bandung Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga menjadi candi yang ke itu dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi batang-batang padi yang sedang menghijau. Daun-daunnya mengombak seperti mengalirnya gelombang-gelombang kecil di pantai karena permainan Mahesa Jenar teringat akan kerangka-kerangka yang ditemukannya di atas Gunung Ijo. Di dekat persawahan yang sedang menghijau itu pasti ada penduduknya. Di sana, mungkin ia akan mendapat beberapa keterangan tentang kerangka-kerangka pikiran itu maka segera ia menuruni bukit dan cepat-cepat pergi ke arah pedesaan di sebelah Candi Jonggrang di tepi Sungai ia sampai di desa itu, terasa alangkah asingnya penduduk menerima kedatangannya. Anak-anak yang sedang bermain di halaman dengan riangnya, segera berlari-larian masuk ke rumah. Terasa benar bahwa beberapa pasang mata mengintip dari celah-celah dinding rumahnya.“Apakah yang aneh padaku?” merasa susah untuk menemukan orang yang dapat diajak berwawancara untuk menjalankan beberapa soal, terutama mengenai peristiwa Gunung di kiri kanan jalan desa itu serasa tertutup baginya. Beberapa kali ia berjalan hilir mudik kalau-kalau ia berjumpa dengan seseorang yang dapat ditanyainya atau seseorang yang menyapanya. Tetapi sudah untuk kesekian kalinya tak seorang pun dijumpainya, dan tak seorang pun menyapanya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengetuk salah satu dari sekian banyak pintu-pintu yang terasa sesuatu yang tidak wajar. Dari balik-balik pagar batu di sekitarnya, didengarnya dengus nafas yang tertahan-tahan. Tidak hanya dari satu-dua orang, tetapi rasa-rasanya banyak orang yang bersembunyi di balik pagar-pagar itu. Mahesa Jenar tidak mengerti maksud mereka mengintip dari balik-balik pagar. Karena itu ia pura-pura tidak mengetahui akan hal ketika ia akan melangkahkan kakinya menginjak ambang regol sebuah halaman, berloncatanlah beberapa orang laki-laki dari balik pagar-pagar batu di sekitarnya. Semuanya membawa senjata. Golok-golok besar, tombak panjang dan pendek, pedang, keris dan Jenar sebentar terkejut juga, tetapi cepat otaknya bekerja. Ia segera mengambil kesimpulan bahwa agaknya memang pernah terjadi sesuatu di daerah ini. Ia juga menduga bahwa orang-orang itu tak bermaksud jahat. Mereka hanya berjaga-jaga dan waspada. Sebagai orang asing di daerah berbahaya sudah sepantasnyalah bahwa ia dicurigai. Itulah sebabnya ia mengambil keputusan untuk tidak berbuat apa-apa, dan hanya akan menurut semua perintah yang akan yang menjadi pemimpin rombongan itu berperawakan sedang. Badannya tak begitu besar, tetapi otot-ototnya yang kuat menghias seluruh tubuhnya. Diantara jari-jari tangan kanannya terselip sebuah trisula, yaitu sebuah tombak bermata tiga. Di sampingnya berdiri seorang yang berperawakan tinggi besar, berkumis tajam berkilat-kilat. Ia tak bersenjata tajam apapun kecuali sebuah cambuk besar yang ujungnya lebih dari sedepa panjangnya, dan pada juntai cambuk itu diikatkan beberapa potongan besi, batu dan ia merupakan salah seorang tokoh terbesar dari para pengawal desa itu, disamping beberapa pengawal lain yang segera mengepungnya.“Ikut kami!” Tiba-tiba terdengarlah sebuah perintah yang menggelegar keluar dari mulut orang yang tinggi besar oleh Mahesa Jenar betapa orang yang tinggi besar itu ingin mempengaruhinya dengan Jenar yang sudah mengambil keputusan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan, menuruti perintah itu dengan patuh. Orang yang tinggi besar itu berjalan di depan bersama-sama dengan pemimpin rombongan, kemudian berjalanlah di belakangnya Mahesa Jenar diiringi oleh para itu berjalan menyusur jalan desa menuju ke sebuah rumah yang agak lebih besar dari rumah-rumah yang lain, berpagar batu agak tinggi dan berhalaman luas. Mereka memasuki halaman itu dengan melewati sebuah gerbang yang dikawal orang di kiri-kanannya, sedangkan di halaman itu pun telah pula menanti beberapa orang laki-laki yang juga bersenjata. Diantara mereka berdirilah seorang laki-laki yang sudah agak lanjut rombongan serta orang yang tinggi besar langsung mendatangi orang tua itu. Mahesa Jenar masih saja mengikuti di belakangnya.“Kakang Demang,” lapor pemimpin rombongan itu, “orang ini terpaksa kami curigai. Selanjutnya terserah kebijaksanaan kakang.”Orang tua yang ternyata demang dari daerah itu, mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa garis umur telah tergores di wajahnya, tetapi ia masih nampak segar dan kuat. Wajahnya terang dan bersih. Giginya masih utuh, putih berkilat diantara bibir-bibirnya yang tersenyum ramah.“Ia sedang menyelidiki daerah kami, Kakang. Mungkin ia menemukan seorang gadis untuk korbannya,” tiba-tiba laki-laki yang tinggi besar itu menyambung dengan suaranya yang bergetar. Sesudah itu ia memandang berkeliling dan tampaklah setiap laki-laki yang kena sambaran matanya mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan yang terang dari Mahesa Jenar segera dapat menghubungkan ucapan ini dengan kerangka-kerangka yang ditemuinya di Gunung Ijo. Mungkin ucapan orang itu bertalian dengan peristiwa yang sedang menjadi tanda tanya di dalam tua itu memandang Mahesa Jenar dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Umurnya yang telah lanjut, menolongnya untuk mengenal sedikit tentang watak-watak orang yang baru saja dijumpainya. Dan terhadap Mahesa Jenar, ia tidak menduga adanya maksud- Maksud buruk.“Bolehkah aku bertanya?” kata Demang tua itu dengan nada yang berat tetapi sopan dan rumah. “Siapakah nama Ki Sanak dan dari manakah asal Ki Sanak? Sebab menurut pengamatan kami, Ki Sanak bukanlah orang dari daerah kami.”Mula-mula Mahesa Jenar ragu. Haruskah ia mengatakan keadaan yang sebenarnya, ataukah lebih baik menyembunyikan keadaan yang sebenarnya ...? Ia masih belum tahu, sampai di mana jauh akibat tindakan-tindakan pemerintah Kerajaan Demak terhadap para pengikut Syeh Siti Jenar. Kalau ia tidak berkata yang sebenarnya, maka ada suatu kemungkinan bahwa kecurigaan orang terhadapnya semakin besar. Mungkin pula ia ditangkap, ditahan atau semacamnya itu. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk mengatakan sebagian saja dari keragu-raguannya inilah maka sampai beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab, sehingga ketika baru saja ia akan berkata, terdengarlah orang yang tinggi besar itu membentak,“Ayo bilang!”Mahesa Jenar sebenarnya sama sekali tidak senang diperlakukan sedemikian, tetapi ia tidak ingin ribut-ribut. Maka dijawabnya pertanyaan itu dengan sopan pula,“Bapak Demang, kalau Bapak Demang ingin mengetahui, aku berasal dari Pandanaran. Aku adalah pegawai istana Demak, yang karena sesuatu hal ingin menjelajahi daerah- daerah wilayah Kerajaan Demak.”Beberapa orang tampak terkejut mendengar jawaban pegawai istana adalah orang yang pantas sekali mendapat kehormatan. Sedang orang ini? Orang yang mengaku menjadi pegawai istana itu menjadi orang tangkapan. Apakah kalau hal semacam ini sampai terdengar oleh kalangan istana, tidak akan menjadikan mereka murka?Mahesa Jenar merasakan pengaruh kata-katanya itu atas orang-orang yang mengepungnya. Demikian juga wajah orang tinggi besar itu tampak berubah. Dahinya berkerinyut dan alisnya ditariknya tua itu sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kemudian ia bertanya lagi dengan nada yang masih sesopan tadi.“Menilik sikap Ki Sanak, memang tepatlah kalau ki sanak seorang pegawai istana, atau setidak-tidaknya orang-orang kota seperti yang pernah aku kenal. Tetapi kedatangan Ki Sanak seorang diri kemari, merupakan sebuah pertanyaan bagi kami."Sekali lagi tampak wajah-wajah di sekitar Mahesa Jenar berubah. Mereka jadi ikut bertanya pula di dalam hati.“Ya, kenapa seorang pegawai istana pergi sedemikian jauhnya seorang diri?” Tetapi tak seorangpun yang mengucapkan pertanyaan itu.“Orang ini ingin memperbodoh kita Kakang,”kembali terdengar suara gemuruh orang yang tinggi besar itu dengan matanya yang berkilat-kilat. Sekali lagi ia memandang berkeliling, kepada orang-orang yang berdiri memagari. Dan sekali lagi orang-orang itu mengangguk-angguk kecil tanpa keyakinan apa-apa. Sikap orang yang tinggi besar itu semakin tidak menyenangkan hati Mahesa Jenar, tetapi ia masih saja menahan dirinya dan menjawab dengan ramah pula.“Bapak Demang, sebenarnya memang aku mempunyai banyak keterangan mengenai diriku, tetapi sebaiknyalah kalau keterangan-keterangan itu aku berikan khusus untuk Bapak Demang, tidak di hadapan orang banyak. Sebab ada hal-hal yang tidak perlu diketahui umum.” Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa perkataannya itu mempunyai akibat yang kurang baik. Orang yang tinggi besar itu, yang sebenarnya bernama Baureksa, dan bertugas sebagai kepala penjaga keamanan Kademangan Prambanan, merasa sangat tersinggung. Ia merasa direndahkan oleh orang asing itu, dengan mengesampingkannya dari pembicaraan. Karena itu ia membentak dengan suaranya yang lantang.“Apa perlunya Kakang Demang meladeni orang semacam kau? Sekarang saja kau bicara.”Perlakuan orang itu sebenarnya sudah keterlaluan. Tetapi Mahesa Jenar masih berusaha untuk menahan diri, dan menjawab dengan baik.“Apa yang perlu kau ketahui telah aku katakan.” “Belum cukup,” jawab Baureksa semakin marah.“Apa yang akan kau katakan kepada kakang Demang?”Mahesa Jenar memandang kepada orang tua itu. Wajahnya yang bening menjadi agak suram. Sebenarnya ia dapat menerima permintaan Mahesa Jenar, tetapi ia tidak dapat menyakiti hati bawahannya yang merupakan tulang punggung kademangannya. Memang, Demang tua itu sendiri sering merasa tidak senang akan sikap Baureksa. Tetapi orang ini terlalu berpengaruh karena kehebatannya. Malahan pernah terpikir olehnya untuk suatu waktu memberi pelajaran sedikit kepada Baureksa, sebab meskipun usianya telah lanjut tetapi ia masih merasa mampu untuk melakukannya. Tetapi hal yang demikian akan tidak baik pengaruhnya terhadap rakyat yang justru sekarang memerlukan perlindungan dari bahaya yang setiap saat dapat tiba-tiba saja ia mendapat suatu pikiran baik. Menilik tubuh, sikap dan gerak-gerik Mahesa Jenar, orang tua yang sudah banyak pengalaman itu segera mengenal, bahwa Mahesa Jenar bukan orang yang pantas direndahkan. Ia tersenyum dalam hati karena pikiran itu.“Lalu bagaimanakah sebaiknya Baureksa?” tanya Demang tua Baureksa semakin garang. Ia merasa bahwa demangnya akan menyerahkan segala sesuatu kepadanya.“Orang itu harus berkata sebenarnya,” katanya. “Kalau tidak mau?” pancing Demang itu.“Dipaksa!” jawab Baureksa tegas-tegas. Dan jawaban ini memang diharapkan sekali oleh demang tua itu.“Bagus... terserah kepadamu. Yang lain sebagai saksi atas apa yang terjadi,” berubah menjadi tegang. Tak seorangpun mengerti maksud dari kepala daerahnya itu. Sebenarnya orang-orang itu sama sekali tak menghendaki kejadian- kejadian semacam itu, sebab dalam pandangan mereka, Mahesa Jenar adalah orang yang sopan dan sekali Baureksa sudah bertindak, biasanya tak dapat dikendalikan lagi. Dan orang yang diperiksanya biasanya kesehatannya tak dapat pulih kembali. Tetapi tak seorang pun yang berani menghalang-halanginya sifat-sifatnya yang mengerikan itu. Apalagi kalau orang itu benar-benar pegawai istana, maka apakah kiranya yang akan terjadi?.Berbeda sekali dengan pikiran menjadi gembira seperti anak-anak yang mendapat mainan. Meskipun ia juga mempunyai otak, tetapi tidak dapat bekerja dengan baik. Adatnya keras dan lekas marah. Apalagi setelah beberapa waktu yang lalu, pada waktu terjadi huru hara, dan ia tidak mampu untuk mengatasinya. Maka sekarang ia ingin mengembalikan kepercayaan rakyat atas kehebatannya dengan menumpahkan segala dendamnya kepada orang asing itu. Tetapi untuk itu ia tidak akan segera turun tangan sendiri. Ia ingin melihat dahulu sampai dimana kekuatan barang mainannya. Sebab bagaimana tumpulnya otak Baureksa, namun ia masih juga melihat suatu kemungkinan yang ada pada calon Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Cepat ia dapat menangkap maksud Demang tua yang bijaksana itu dengan menangkap pandangan matanya.“Permainan berbahaya. Demang tua itu sama sekali belum mengenal aku, sebaliknya aku pun belum mengenal orang macam Baureksa itu,” pikir Mahesa Jenar. Tetapi bagaimana pun, Mahesa Jenar terpaksa melayaninya kalau ia tidak mau menjadi bulan-bulanan celaka.“Gagak Ijo...!” tiba-tiba terdengar Baureksa berteriak orang yang dipanggilnya Gagak Ijo itu dengan gerak yang cekatan meloncat ke hadapan Ijo yang nama sebenarnya adalah Jagareksa adalah seorang pembantu, bahkan tangan kanan Baureksa. Kedua-duanya mempunyai sifat yang hampir sama. Tubuhnya agak pendek bulat, sedang otot-ototnya menjorok keluar membuat garis-garis yang sama jeleknya dengan garis-garis wajahnya.“Suruh orang itu bicara,” perintah Baureksa. “Bicara tentang apa Kakang?” tanya Gagak pertanyaan itu, Baureksa memaki keras-keras,“Bodoh kau. Suruh dia bicara, di mana rumahnya, di mana gerombolannya, dan suruh dia katakan kapan gerombolannya akan datang lagi untuk menculik gadis.”-Gagak Ijo mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekarang ia sudah tahu tugasnya. Memeras keterangan dari orang asing Gagak Ijo memutar tubuhnya, menghadap Mahesa Jenar. Sebentar ia mengatur jalan nafasnya, dan dengan perlahan-lahan pula ia mendekati korbannya. Suasana menjadi bertambah semacam ini telah berulang kali terjadi, biasanya dilakukan terhadap para penjahat atau terhadap mereka yang melanggar adat. Tetapi sekali ini, orang-orang kademangan itu merasakan adanya suatu perbedaan dengan kejadian-kejadian yang pernah terjadi.“Jawab setiap pertanyaanku dengan betul,” perintah Gagak Ijo dengan garangnya. Matanya menjadi berapi-api dan mulutnya komat-kamit.“Siapa namamu?”Pertanyaan yang pertama ini mengejutkan Mahesa Jenar. Ia tidak menduga bahwa dari mulut orang itu akan keluar pertanyaan yang demikian. Maka untuk pertanyaan yang pertama ini Mahesa Jenar menjawab dengan tenangnya.“Namaku Mahesa Jenar.”Rupa-rupanya ketenangannya ini sangat mengagumkan orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu. Tidak pernah ada seorang pun yang dapat bertindak setenang itu menghadapi Gagak Ijo, apalagi Baureksa.“Bagus...” dengus Gagak Ijo. “Nama yang bagus. Mengenal namamu adalah perlu sekali bagiku. Kalau terpaksa tanganku membunuhmu. Orang-orang sudah tahu bahwa kau bernama Mahesa Jenar.”Gagak Ijo lalu mengangguk-angguk dengan sikap yang sombong sekali. Memang, ia mempunyai kebiasaan untuk tidak segera bertindak. Ia senang melihat korbannya ketakutan dan bahkan pernah ada yang sampai terjatuh di tempat. Tetapi kali ini ia merasa aneh, Mahesa Jenar tenang bukan kepalang. Dan ini sangat menjengkelkannya.“Kau sudah dengar perintah kakang Baureksa? Apa yang harus kau katakan, sekarang katakanlah.”“Tak ada yang akan aku katakan,” jawab Mahesa Ijo terkejut mendengar jawaban itu, sehingga membentak keras.“Bicaralah!" Lalu suaranya ditahan perlahan-lahan. “Bicaralah supaya aku tidak usah memaksamu.”Mahesa Jenar kemudian menjadi jemu melihat sikap Gagak Ijo yang sombong itu. Maka ia mengambil keputusan untuk cepat-cepat menyelesaikan pertunjukan yang membosankan itu, dengan membuat Gagak Ijo marah.“Baiklah aku berkata, bahwa rumahku adalah jauh sekali seperti yang sudah aku katakan kepada Bapak Demang tadi. Tetapi kedatanganku kemari sama sekali tidak akan menculik gadis-gadis. Aku datang kemari karena aku ingin menculik kau untuk menakuti gadis-gadis.”Mereka yang mendengar jawaban itu terkejut bukan main. Alangkah beraninya orang asing itu. Malahan akhirnya beberapa orang menjadi hampir-hampir tertawa, tetapi ditahannya kuat-kuat, kecuali demang tua itu yang tampak Gagak Ijo menjadi marah bukan kepalang. Mukanya menjadi merah menyala dan giginya gemeretak. Selama hidup ia belum pernah dihinakan orang sampai sedemikian, apalagi di hadapan Demang dan Baureksa. Maka ia tidak mau lagi berbicara, tetapi ia ingin menyobek mulut Mahesa Jenar yang sudah menghinanya itu. Dengan gerak yang cepat ia meloncat dan kedua tangannya menerkam wajah Mahesa yang menyaksikan gerak Gagak Ijo itu menjadi tergoncang hatinya. Mereka telah berpuluh kali melihat ketangkasan Gagak Ijo, tetapi kali ini gerakannya adalah diluar dugaan. Hal ini terdorong oleh kemarahannya yang meluap-luap, sehingga semua orang yang menyaksikan menahan nafas sambil gerakan ini bagi Mahesa Jenar adalah gerakan yang sangat sederhana. Bahkan mirip dengan gerak yang tanpa memperhitungkan kemungkinan yang ada pada lawannya. Untuk menghindari serangan ini Mahesa Jenar tidak perlu banyak membuang tenaga. Hanya dengan sedikit mengisarkan tubuhnya dengan menarik sebelah kakinya, Mahesa Jenar telah dapat menghindari terkaman Gagak Ijo itu. Dengan demikian, karena dorongan kekuatannya sendiri Gagak Ijo menjadi kehilangan keadaan yang demikian, sebenarnya Mahesa Jenar dengan mudahnya dapat membalas serangan itu dengan suatu pukulan yang dapat mematahkan tengkuk Gagak Ijo. Tetapi Mahesa Jenar tahu, kalau dengan demikian akibatnya akan hebat sekali. Karena itu, ia hanya menyerang Gagak Ijo dengan sentuhan jarinya, untuk mendorong punggung Gagak Ijo dengan arah yang sama. Gagak Ijo yang memang sudah kehilangan keseimbangan, segera jatuh tertelungkup mencium yang berdiri mengitari arena pertarungan itu, mula-mula mengira bahwa akan hancurlah muka orang asing itu diremas oleh Gagak Ijo. Tetapi ketika mereka menyaksikan kenyataan itu, menjadi sangat terkejut dan heran. Gagak Ijo itu sendiri malahan yang mencium tanah. Banyak diantara mereka tidak dapat melihat apa yang sudah dengan demikian Mahesa Jenar tambah berhati-hati, sebab ia tahu bahwa apa yang dilakukan Gagak Ijo adalah diluar kesadarannya, karena terdorong oleh kemarahannya yang memuncak. Sehingga dalam tindakan selanjutnya, pastilah Gagak Ijo akan memperbaiki kesalahannya. Gagak Ijo sendiri kemudian merasa bahwa tindakannya kurang diperhitungkan lebih dahulu. Ia baru sadar ketika hidungnya sudah menyentuh tanah, dan sebentar kemudian seluruh mukanya. Peristiwa ini adalah memalukan sekali. Tokoh seperti Gagak Ijo dengan bulat-bulat terbanting di atas tanah tanpa dapat berbuat sesuatu untuk menahannya. Karena itu ia menjadi semakin marah. Hatinya menjadi seperti terbakar dan matanya merah menyala-nyala, seluruh tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan, tetapi setelah mengalami kejadian tersebut, ia tidak berani menyerang dengan membabi itu, ketika ia mulai menyerang lagi, ia berbuat lebih hati-hati, dengan kecepatan yang tinggi, ia menyerang dengan kakinya ke arah perut Mahesa Jenar, tetapi dengan cepat pula serangan ini dapat dihindari, dan sebelum Gagak Ijo dapat berdiri tegak kembali, Mahesa Jenar telah membalas menyerang dadanya, tetapi Gagak Ijo cukup Ijo membuat gerakan setengah lingkaran ke belakang untuk menghindari serangan Mahesa Jenar, bersamaan dengan itu, kakinya menyambar tangan Mahesa Jenar. Mahesa Jenar cepat-cepat menarik serangannya, dan secepat itu pula tangannya yang lain menyentuh kaki Gagak Ijo itu ke atas, sekali lagi Gagak Ijo kehilangan keseimbangan, dan kali ini ia jatuh terlentang, dengan gugup Gagak Ijo berguling dan kemudian berusaha tegak itu Mahesa Jenar telah jemu dengan permainan ini, ia ingin segera mengakhirinya. Maka ketika Gagak Ijo hampir berhasil menegakkan dirinya, seperti sambaran kilat telapak tangan Mahesa Jenar melekat di dada Gagak Ijo. Meskipun Mahesa Jenar hanya mempergunakan tenaga dorong yang tidak seberapa, tetapi akibatnya hebat sekali. Nafas Gagak Ijo mendadak serasa berhenti, dan pandangannya menjadi kuning berkunang-kunang. Meskipun dengan susah payah, ia mencoba untuk menahan diri, tetapi perlahan-lahan ia terjatuh kembali. Ia terduduk di tanah dengan nafas tersenggal-senggal, sedangkan kedua tangannya berusaha untuk menahan berat yang melihat pertandingan itu berdiri tanpa berkedip. Gagak Ijo termasuk orang yang dikagumi di desa itu. Tetapi Mahesa Jenar dengan mudahnya dapat menjatuhkannya. Ilmu macam apakah yang dimilikinya?Belum lagi mereka sempat berpikir lebih banyak, mereka dikejutkan oleh gertak Baureksa yang gemuruh seperti membelah langit. Ketika ia menyaksikan Gagak Ijo, orang kepercayaannya dipermainkan orang asing itu, hatinya menjadi di antara kemarahannya itu terselip pula perasaan orang yang dianggapnya barang mainan itu, adalah barang mainan yang sebabnya maka sebelum mengadu tenaga, Baureksa akan berusaha untuk mengurangi kegesitan lawannya dengan melukainya lebih dahulu. Cambuknya yang besar dan panjang dengan potongan-potongan besi, batu dan tulang-tulang itu diputarnya di atas kepala sampai menimbulkan suara berdesing-desing. Mahesa Jenar kini harus benar-benar yang berdesing-desing itu sedikit-banyak dapat menunjukkan kira-kira sampai di mana kekuatan Baureksa. Hanya apakah Baureksa dapat mempergunakan kekuatan serta tenaganya dengan baik, itulah yang masih perlu yang menyaksikan menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika mereka melihat Baureksa akan mempergunakan senjatanya, maka menurut pikiran mereka, sedikit kemungkinannya Mahesa Jenar dapat menyelamatkan Baureksa yang berputar-putar itu, cepat sekali menyambar leher Mahesa Jenar, tetapi secepat itu pula Mahesa Jenar membungkuk menghindari, sehingga cambuk itu tidak mengenai sasarannya. Baureksa yang merasa serangannya gagal menjadi semakin marah. Dengan cepat ia mengubah arah cambuknya dan dengan mendatar ia menyerang arah dada. Mahesa Jenar sadar bahwa dalam jarak yang agak jauh sulit baginya untuk menghindari serangan-serangan cambuk Baureksa yang cukup cepat dan keras. Karena itu sebelum cambuk Baureksa sempatmengenainya, Mahesa Jenar dengan gerakan kilat meloncat maju, dekat sekali di samping Baureksa, dan menggempur tangan Baureksa yang memegang senjata itu. Gempuran itu terasa hebat sekali dan tak terduga-duga. Terasa tulang-tulang Baureksa gemertak. Perasaan sakit serta panas menyengat-nyengat, tidak hanya pada bagian yang terkena, tetapi seakan-akan menjalar sampai ke ubun-ubun. Cambuknya segera terlepas dan melontar sama sekali tidak mengira bahwa hal yang semacam itu bisa terjadi. Karena itu sama sekali ia tak dapat memberikan perlawanan, dan membiarkan cambuknya hal semacam itu, meskipun terpaksa menahan sakit, Baureksa menjadi bertambah kalap. Ia mengumpulkan segenap tenaganya dan ingin menebus malunya dengan mematahkan leher lawannya. Dengan sekuat tenaga ia menyembunyikan rasa sakitnya, sehingga Mahesa Jenar tak dapat mengukur akibat gempurannya dengan cepat-cepat menarik diri untuk segera bersiap-siap menyerang, sedangkan Mahesa Jenar pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Kembali Baureksa menyerang lawannya ke dua arah sekaligus. Tangan kanannya menyodok perut, sedangkan tangan kirinya menghantam pelipis. Mendapat serangan ini Mahesa Jenar segera merendahkan diri serta memutar tubuh. Tetapi ketika Baureksa melihat bahwa Mahesa Jenar mencoba menghindar, segera Baureksa mengubah arah serangannya. Cepat-cepat ia menarik tangannya dan dengan satu gerakan dahsyat ia meloncat dan menendang kepala Jenar tidak menduga bahwa Baureksa dapat meloncat secepat itu. Karena itu ia tidak lagi sempat Mahesa Jenar masih akan menghindari bentrokan-bentrokan secara langsung, sebab sampai sekian ia masih belum dapat menjajagi sampai di mana kekuatan Baureksa yang sebenarnya. Tetapi kali ini, ia harus melawan serangan kaki Baureksa itu. Maka untuk tidak mengalami hal-hal yang tidak dikehendaki atas dirinya, terpaksa Mahesa Jenar mempergunakan sebagian besar dari tenaganya yang dipusatkan pada siku tangan merendah sedikit sambil memiringkan tubuhnya. Maka, terjadilah suatu benturan yang hebat antara kaki Baureksa dengan siku tangan Mahesa Jenar. Akibatnya hebat pula. Baureksa ternyata telah mengerahkan seluruh tenaganya, dan ketika ia melihat bahwa Mahesa Jenar tidak sempat mengelakkan serangannya, ia sudah memastikan bahwa orang asing itu akan terpelanting dan tidak akan dapat bangun dugaan itu ternyata meleset sama sekali. Ketika kaki Baureksa yang sudah mengerahkan seluruh tenaganya itu menyentuh siku tangan Mahesa Jenar, Baureksa merasa bahwa kakinya seolah-olah menghantam dinding batu yang keras sekali. Dan kini tulang-tulang kakinyalah yang bergemeretakan, sedangkan ia terpental oleh kekuatannya sendiri dan dengan kerasnya terbanting di tanah, sehingga tidak sadarkan yang menyaksikan peristiwa itu, serentak hatinya bergetar, sampai beberapa orang menggigil karena tegang. Beberapa orang tidak dapat mengikuti dengan pandangan matanya tentang apa yang terjadi. Yang mereka ketahui hanyalah Baureksa terbanting di tanah hingga Pananggalan, demikian nama Demang tua itu, hatinya menjadi cemas menyaksikan pertempuran itu. Sebab kalau sampai terjadi sesuatu hal, dia lah yang harus ia mendekati Baureksa yang sedang pingsan. Dirabanya seluruh tubuhnya. Ia menjadi terkejut sekali ketika tangannya meraba kaki Baureksa yang membentur siku Mahesa Jenar. Kaki itu terasa dingin sekali dan di beberapa bagian terasa adanya luka dalam yang berbahaya bila tidak lekas-lekas mendapat yang berkerumun menjadi terdiam seperti patung. Mereka tidak tahu lagi bagaimana harus menilai kehebatan orang asing itu, yang dengan bermain-main saja telah dapat mengalahkan Gagak Ijo dan kemudian sekaligus itu Baureksa dan Gagak Ijo telah diangkat orang ke dalam sambil menunggu Ki Asem Gede. Kini perhatian orang seluruhnya tertumpah kepada Mahesa Jenar yang masih belum bergeser dari tempatnya. Hanya sebentar mereka melirik juga kepada Demang Pananggalan, sambil bertanya-tanya di dalam hati, apakah seterusnya yang akan diperbuat oleh demang tua itu?Sebenarnya pada saat itu Demang Pananggalan telah mengambil keputusan untuk mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke rumah kademangan dan memberikan keterangan-keterangan. Tetapi segera keadaan menjadi tegang kembali ketika seseorang dengan langkah yang tegap dan tenang memasuki gelanggang.“Kakang Demang,” kata orang itu dengan nada yang berat berwibawa, “perkenankanlah aku memperkenalkan diri terhadap orang asing ini.”Alangkah terkejutnya Demang Pananggalan melihat orang itu memasuki gelanggang. Ia menjadi kebingungan, sebab sama sekali ia tidak menduga bahwa persoalannya akan berlarut-larut. Orang itu adalah pemimpin pasukan yang menangkap Mahesa Jenar tadi, dan ia adalah adik kandung demang tua itu. Beberapa kali adik kandungnya yang bernama Mantingan itu menyatakan ketidaksenangannya atas sikap Baureksa yang sering adigang-adigung-adiguna. Dan mendadak ia ingin kebingungan dan keragu-raguan Demang Pananggalan, Mantingan menyambung,“Aku tidak akan membela seseorang, Kakang. Tetapi aku tidak mau orang lain menyangka betapa lemahnya kademangan ini. Kami tidak tahu siapakah orang asing itu. Syukurlah kalau ia bermaksud baik, tetapi kalau orang itu ingin menjajagi kekuatan kita, alangkah berbahayanya. Sedangkan keterangan yang diberikan bukanlah berarti suatu kebenaran yang harus kita percaya demikian saja.”“Tetapi maksudku bukan kau, Mantingan,” kata demang itu tergagap. Sebab ia tahu bahwa adiknya adalah orang yang berilmu. Ia adalah orang yang lebih hebat daripada dirinya sendiri. Ia adalah murid kedua Ki Ageng Supit di adalah seorang dalang yang secara kebetulan sedang mengunjungi kampung halamannya, yang baru saja didatangi oleh gerombolan yang menculik gadis-gadis. Dan Mantingan diminta untuk sementara tetap tinggal, kalau ada kemungkinan gerombolan penculik itu datang saat itu Mantingan seperti tidak mendengar kata-kata kakaknya. Ia segera menyerahkan trisulanya kepada orang terdekat yang dengan gugup menerima senjata itu tanpa kesadaran.“Ki Sanak,” kata Mantingan kepada Mahesa Jenar dengan sopan, “aku belum pernah bertemu dengan kau sebelumnya dan juga belum pernah mempunyai suatu persoalan apapun. Tetapi tadi kau telah mempertunjukkan ketangkasan dan ketangguhanmu. Maka perkenankanlah aku sekarang mencoba untuk melayanimu dengan sedikit pengetahuan yang aku miliki.”Mahesa Jenar sibuk menduga-duga dalam hati. Orang ini sikapnya agak berbeda dengan orang lain yang berada di situ. Menilik sikapnya, sudah seharusnya kalau Mahesa Jenar lebih berhati-hati melawannya.“Dan sekarang,” sambung Mantingan, “awaslah... aku mulai.”Dan sesudah itu, benar-benar ia mulai menyerang. Langkahnya tetap ringan. Ia membuka serangannya dengan kaki, sedangkan kedua tangannya bersilang melindungi serangan ini, Mahesa Jenar terkejut. Ia kenal gerakan pembukaan ini. Ketika orang itu dipanggil namanya, sama sekali ia tidak menduga bahwa orang itu pulalah yang berdiri di hadapannya. Bahkan sedang mengadu tenaga dengan dirinya. Ia adalah Dalang Mantingan dari Wanakerta, murid Ki Ageng Supit. Ia sering mendengar nama itu. Bahkan pernah tersebar khabar di Demak bahwa Dalang Mantingan seorang diri dapat menangkap tiga saudara perampok dari Jarakah, di kaki Gunung Merapi, yang dikenal dengan satu nama Samber pembukaan ini jelas berasal dari Ki Ageng Supit, yang meskipun belum setaraf dengan gurunya tetapi Ki Ageng Supit juga mempunyai nama yang Mahesa Jenar tidak sempat berpikir banyak. Sebab ia segera sibuk melayani lawannya, yang bergerak menyambar-nyambar dengan gerakan-gerakan yang cukup tangguh. Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat hanya bersikap mengelak dan menghindar saja. Ia tidak bisa hanya bersikap mempertahankan diri saja. Untuk mengurangi kebebasan gerak lawannya, ia harus ganti Ki Dalang Mantingan semakin lama menjadi semakin hebat pula. Tangannya bergerak-gerak dengan cepat dibarengi gerak kakinya yang ringan cekatan. Sekali tangan Mantingan itu sudah berubah menyambar kening. Tetapi Mahesa Jenar adalah bekas prajurit pengawal raja, dan ia adalah murid Pangeran Handayaningrat yang juga disebut Ki Ageng Pengging melawan Mantingan, sengaja Mahesa Jenar mempergunakan tanda-tanda khusus dari perguruannya, sebab jelas bahwa perguruannya mempunyai beberapa persamaan dengan gerak-gerak yang dilakukan oleh Mantingan pun dapat pula mengenal tata berkelahi Mahesa Jenar yang juga seperti ilmunya sendiri, mempunyai sumber yang sama. Yaitu peninggalan almarhum Bra Tanjung, yang diwarisi oleh Raden Alit yang sedikit bercampur dengan gerak-gerak penyerangan yang mantap dari Lembu Amisani. Tetapi yang ia tidak tahu dari manakah Mahesa Jenar mempelajari tata berkelahi itu, yang memiliki banyak perubahan dan penyempurnaan-penyempurnaan dengan gabungan-gabungan yang tepat dan sebabnya Mantingan harus berhati-hati benar dan memeras segala kepandaiannya untuk memenangkan pertandingan Mantingan berhasrat untuk cepat-cepat mengakhiri pertandingan ini, ia memusatkan segala tenaga dan pikiran untuk kemudian sebagai angin ribut melanda lawannya.“Hebat ...!” pikir Mahesa Jenar ketika ia menerima serangan bertubi-tubi dari Mantingan.“Memang perguruan Wanakerta memiliki keistimewaan yang tak dapat diabaikan.”Kemudian terpaksa ia membuat beberapa langkah surut. Tetapi Ki Dalang Mantingan tidak menyia-nyiakan tiap kesempatan. Cepat ia maju dengan melancarkan gempuran- gempuran Ki Dalang Mantingan menjadi agak gusar ketika serangan serangannya tidak segera dapat mengenai lawannya, bahkan lawannya itu dapat pula mendesaknya. Karena itu gerakan-gerakan serta serangan-serangannya menjadi bersungguh-sungguh. Ia tidak mau mengorbankan namanya seperti Gagak Ijo dan Panggalan menjadi semakin cemas dan bingung. Ia tidak menghendaki orang asing yang belum diketahuinya benar-benar asal-usulnya itu mendapat cedera, sebab tidak mungkin ia berdiri sendiri. Apalagi kalau benar-benar ia orang Istana Demak. Tetapi disamping itu, Demang Pananggalan sangat sayang kepada adiknya, dan ia sama sekali tidak rela kalau adiknya mengalami hal-hal yang tidak diharapkan, baik tubuhnya maupun itu pertarungan menjadi semakin sengit. Serangan-serangan Mantingan menjadi semakin dahsyat dan ia sudah hampir kehilangan pengamatan diri sehingga geraknya tak terkekang serangannya yang dilancarkan dengan kedua tangannya sekaligus mengarah ke sasaran yang berbeda dapat dihindari oleh Mahesa Jenar, cepat ia mengubah serangan itu dengan serangan berikutnya, dengan kaki yang mengarah ke perut Mahesa Jenar. Melihat perubahan itu Mahesa Jenar terpaksa meloncat Mantingan rupa-rupanya sudah bertekad untuk memenangkan pertempuran itu dengan segera. Maka, demikian Mahesa Jenar meloncat mundur, disusulnya pula dengan kaki yang lain setelah ia memutarkan tubuhnya setengah lingkaran atas kaki yang pertama. Rupa-rupanya Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa serangan- serangan Mantingan akan sedemikian bertubi-tubi datangnya, sehingga terasalah tumit Mantingan mengenai pinggangnya. Gempuran ini demikian hebat sehingga tubuh Mahesa Jenar bergetar dan hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Meskipun tubuh Mahesa Jenar sudah cukup terlatih serta mempunyai daya tahan yang kuat, namun terasa juga bahwa tumit yang mengenai pinggangnya itu menimbulkan rasa tendangan ini, hati Mahesa Jenar menjadi agak panas juga. Karena itu ia berketetapan hati untuk melayani Ki Demang Mantingan dengan lebih bersungguh- sungguh lagi. Maka segera geraknya berubah menjadi semakin cepat dan keras. Ia membalas setiap serangan dengan serangan pula. Dan ia sama sekali tidak mau tubuhnya disakiti oleh lawannya Dalang Mantingan terkejut melihat perubahan tendangan lawannya. Maka segera ia sadar bahwa orang yang dilawannya itu berilmu tinggi. Tetapi segala sesuatunya telah terlanjur. Satu-satunya kemungkinan baginya adalah, lawannya menghendaki pertempuran itu akan berlangsung memang sebenarnyalah Mahesa Jenar berikutnya datang bertubi-tubi seperti ombak yang bergulung-gulung menghantam pantai. Bagaimanapun kukuhnya batu-batu karang tebing, namun akhirnya segumpal demi segumpal berguguran jatuh juga ke Mantingan mengeluh di dalam hati. Sebagai seorang yang telah banyak mempunyai pengalaman, ia merasa bahwa lawannya memiliki kepandaian yang lebih yang kemudian terjadi adalah, Ki Dalang Mantingan mulai tampak terdesak. Bagaimanapun ia berusaha, kini ia terpaksa untuk bertahan saja. Ia sama sekali tidak berkesempatan untuk menyerang. Bahkan beberapa kali ia telah dapat dikenai oleh lawannya, meskipun tidak di tempat-tempat yang berbahaya. Tubuh Mantingan terasa nyeri sekali. Meskipun demikian ia bukanlah Mantingan kalau sampai ia Pananggalan semakin kebingungan. Ia segera melihat kesulitan adiknya. Bagaimanapun, ia mempunyai perasaan tidak rela melihat hal yang demikian itu berlangsung. Mantingan yang dibangga-banggakan seluruh penduduk Kademangan, sekarang akan dikalahkan oleh orang asing di hadapan penduduknya sendiri. Karena itu hampir di luar sadarnya ia meloncat maju. Meskipun umurnya sudah lanjut dan tidak sekuat Mantingan, namun karena pengalamannya maka Demang tua ini nampaknya berbahaya juga. Langsung ia menyerang Mahesa Jenar dengan gerakan-gerakan yang tak terduga-duga untuk mengurangi tekanannya pada segera Mahesa Jenar menjadi sibuk berpikir, apakah maksud yang sebenarnya dari Demang tua yang mengitari pertarungan itu dengan asyiknya menyaksikan gerak masing- masing dengan keheran-heranan, sebagai suatu hal yang belum pernah dilihat sebelumnya. Mendadak mereka terkejut sekali melihat Demang terjun langsung ke arena. Mereka serentak merasa bangun dari sebuah mimpi yang dahsyat. Dalam hal yang demikian, bagaimanapun hebatnya lawan, mereka merasa wajib membela pemimpin mereka meskipun harus menyerahkan mereka menggenggam senjata masing-masing makin erat. Sedangkan beberapa orang yang berdiri di baris paling depan sudah mulai Jenar segera melihat kesulitan yang bakal datang. Karena itu ia semakin waspada. Ia mulai menghimpun kekuatan-kekuatannya untuk membuat gempuran- gempuran terakhir, meskipun hal itu dilakukan dengan berat hati. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa ia harus terlibat dalam masalah yang sama sekali tak diketahui sebab- sebabnya. Tetapi bagaimanapun, ia tidak mau dijadikan bulan-bulanan dari peristiwa- peristiwa yang tak diketahui ujung- pangkalnya ketika keadaan sudah sedemikian memuncaknya, halaman itu digetarkan oleh sebuah teriakan nyaring.“Adi Pananggalan dan Adi Mantingan, apa yang terjadi?”Teriakan yang dilontarkan sepenuh tenaga itu bergetar memenuhi halaman Kademangan, sehingga semuanya terkejut karenanya. Dan pertarungan itu pun segera yang berteriak itu adalah Ki Asem Gede, yang datang untuk mengobati Baureksa dan Gagak Ijo.“Apa yang terjadi ...?" matanya memandang berkeliling, ke wajah-wajah yang berdiri di sekitar halaman itu, kemudian dipandanginya wajah Mantingan dan Demang Pananggalan dengan matanya yang bening, sehingga membawa pengaruh yang sejuk. Alangkah damainya hati seorang yang mempunyai wajah dan mata yang begitu lunak. Umurnya sudah lanjut, dan hampir seluruh rambutnya sudah Asem Gede berjalan perlahan mendekati Mahesa Jenar. Lalu membungkuk dengan hormatnya. “Anakmas, apa yang terjadi?” tanyanya, dan kemudian ia menoleh kepada Demang Pananggalan dan Ki Dalang Mantingan“Apa yang terjadi?” ulangnya Pananggalan merasa sulit untuk memberi jawaban. Memang ia sendiri bertanya kepada dirinya, kenapa ini sampai terjadi?Ketika Pananggalan tidak segera menjawab, Ki Asem Gede kembali memandang kepada Mahesa Jenar. Matanya hampir tiada berkedip, seakan-akan ia masih belum yakin kepada ia memasuki halaman itu, dan melihat pertarungan yang sengit, hatinya tersirap. Ia pernah melihat orang yang bertempur melawan Demang Pananggalan merasa pernah bertemu dengan orang itu di Demak, ketika ia bersama-sama dengan kakaknya, yang juga seorang ahli obat-obatan, memenuhi panggilan Panji Danapati, untuk mengobati anaknya yang sakit.“Anakmas...” katanya kemudian, “bolehkah aku ini, orang tua yang tak berharga menanyakan sesuatu kepada anakmas?”Melihat wajah orang tua itu, hati Mahesa Jenar menjadi lunak seketika, bahkan ia agak malu kepada diri sendiri yang masih sedemikian mudahnya terbakar oleh nafsu.“Silahkan, Bapak...” jawabnya. “Apakah kiranya yang ingin Bapak ketahui?"“Maafkanlah orang tua ini,” kata orang tua itu selanjutnya sambil menatap Mahesa Jenar dengan penuh perhatian. “Maafkan aku, kalau aku berani mengatakan bahwa aku pernah bertemu dengan Anakmas di Demak.”Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia mulai mengingat- ingat, apakah ia benar-benar pernah bertemu dengan orang itu.“Aku pernah datang ke Demak,” sambung Ki Asem Gede, “bersama-sama dengan kakakku, untuk mencoba menyembuhkan sakit putera Panji Danapati, salah seorang perwira dari perajurit pengawal raja.”Mendengar kata-kata Ki Asem Gede, tiba-tiba Mahesa Jenar jadi teringat pertemuannya dengan orang tua itu. Pada saat itu ia sedang berkunjung ke rumah kawan sepasukan yang pada saat yang bersamaan sedang memanggil dua orang tua untuk mengobati anaknya yang sedang sakit. Dan ia jadi teringat, bahwa salah seorang dari kedua orang itu, adalah yang sekarang berdiri di hadapannya.“Di sana...” Ki Asem Gede melanjutkan, “aku bertemu pula dengan seorang perwira lain, kawan Panji Danapati itu. Kenalkah Anakmas dengan Panji Danapati?”Mahesa Jenar agak ragu, tetapi perlahan-lahan ia mengangguk juga.“Nah...” kata orang tua itu pula, “kalau begitu aku tidak salah lagi, Anakmaslah yang aku jumpai di ndalem Danapaten. Benarkah?”Mahesa Jenar masih saja ragu-ragu. Sebenarnya ia ingin melupakan saja apa yang pernah terjadi. Meskipun sebenarnya ia masih ingin mengabdikan diri kepada negerinya, tetapi dengan terbunuhnya Ki Kebo Kenanga, saudara seperguruannya, lebih baik ia menyingkirkan diri, dan mencari cara pengabdian yang lain. Juga penegasan tentang dirinya akan mempermudah setiap usaha untuk menangkapnya, apabila ia dianggap berbahaya seperti Ki Kebo Kenanga. Ia tidak ingin kalau sampai terjadi bentrokan dengan orang-orang yang sedang menjalankan kewajibannya, serta,kawan-kawan seperjuangannya dahulu. Maka lebih baik baginya untuk menjauhkan diri saja dari setiap kemungkinan sekarang ia tidak dapat mengingkari pertanyaan orang tua itu. Karena itu, kembali Mahesa Jenar mengangguk anggukan itu, tiba-tiba Ki Asem Gede membungkuk lebih hormat lagi dan dengan suaranya yang lembut ia berkata, “Kalau begitu Anakmas ini adalah tuanku Rangga Tohjaya.”Perkataan Ki Asem Gede itu seperti petir datang menyambar telinga Ki Dalang Mantingan serta Demang Pananggalan. Ia pernah mendengar nama itu, bahkan nama itu terlalu besar untuk disebut-sebut sebagai seorang pahlawan yang sudah mengamankan Demak dari gangguan-gangguan Jenar sendiri agak terkejut juga mendengar nama itu disebutkan. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada mengiyakan. Sebab Ki Asem Gede itu pasti pernah mendengarnya dari Panji Danapati, bahwa ia sebagai seorang perwira pengawal raja, disamping namanya sendiri mendapat gelar Rangga Pananggalan dan Ki Demang Mantingan masih berdiri termangu-mangu. Mereka masih belum yakin benar akan kata-kata Ki Asem Gede, sampai Ki Asem Gede menyapanya.“Adi Pananggalan dan Adi Mantingan, belumkah adi berdua pernah mendengar nama itu?”Mereka berdua tersadar oleh sapa itu. Dengan hati-hati Demang Pananggalan mencoba bertanya,“Ki Asem Gede, aku memang pernah mendengar gelar itu serta kebesarannya, tetapi aku belum mengenal wajahnya, karena aku orang yang picik dan sama sekali tak perkenankanlah aku bertanya bahwa beliau tadi berkenan menyebut gelarnya dengan Mahesa Jenar ...?”Ki Asem Gede tertawa lirih.“Benar Adi berdua, Mahesa Jenar adalah namanya, sedang gelarnya sebagai seorang prajurit adalah Rangga Tohdjaja.”Hati Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan berdegup keras. Tetapi pandangan mata mereka masih mengandung seribu macam pertanyaan, sehingga akhirnya Mahesa Jenar sendiri mengambil keputusan untuk mengatakan keadaannya yang sebenarnya sebagai suatu hal yang tak mungkin lagi diingkari.“Bapak Demang dan Kakang Mantingan, memang sebenarnyalah aku yang bernama Mahesa Jenar, telah menerima anugerah nama sebagai seorang prajurit, Rangga Tohjaya.”Mendengar penjelasan itu detak jantung Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan serasa akan berhenti. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa mereka telah berhadap- hadapan dengan seorang yang sakti. Untunglah bahwa segala sesuatunya belum terlanjur. Kalau sampai terjadi Rangga Tohjaya mengeluarkan segala kesaktiannya maka sulitlah bagi mereka semua untuk dapat keluar dari halaman itu dengan masih digerakkan oleh satu tenaga penggerak, Dalang Mantingan dan Demang Pananggalan cepat-cepat melangkah maju ke hadapan Mahesa Jenar, dan bersama-sama membungkuk hormat. Dengan agak terputus-putus karena berbagai perasaan yang berdesakan di dada,Demang Pananggalan berkata,“Kami mohon ampun ke hadapan Anakmas Rangga Tohjaya, bahwa kami telah berbuat suatu kesalahan yang besar sekali. Serta mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas kemurahan Anakmas yang tidak sekaligus menghabisi jiwa kami. Dan sekarang kami menjerahkan diri untuk menerima segala hukuman yang seharusnya kami jalani.”Mahesa Jenar terharu juga melihat Demang tua itu ketakutan. Sejak semula ia sudah menduga bahwa Demang tua itu sama sekali tak bermaksud jahat kepadanya. Hanya karena perkembangan keadaan saja maka semuanya itu terjadi. Bahkan mungkin di luar dugaan Demang tua itu berkatalah Mahesa Jenar,“Bapak Demang Pananggalan dan Kakang Mantingan, tak ada sesuatu yang harus aku maafkan. Yang sudah terjadi tak perlu disesali. Yang perlu, sekarang silahkan Ki Asem Gede mengobati kedua orang-orangmu yang terluka. Tetapi percayalah, aku sama sekali tidak bermaksud untuk melukainya benar-benar.”Kembali Demang Pananggalan dan Mantingan mengagguk hormat, lalu mereka mempersilahkan Mahesa Jenar masuk ke yang berada di halaman menyaksikan semuanya itu dengan keheran heranan. Mereka yang pernah mendengar nama Rangga Tohjaya dan pernah mendengar kesaktiannya, segera bercerita dengan suara yang berderai derai, seakan akan dengan mengenal nama itu mereka sudah terhitung orang yang terkemuka dalam kalangan itu Ki Asem Gede sudah mulai melakukan kewajibannya. Ternyata luka Gagak Ijo dan Baureksa tidak ringan. Beberapa kali mereka tak sadarkan diri. Untung Ki Asem Gede segera turun tangan. Kalau sampai terlambat satu malam saja, mungkin mereka sudah tak tertolong itu, ternyata Ki Dalang Mantingan juga mengalami cedera. Beberapa bagian tubuhnya tidak bekerja seperti biasa dan di beberapa bagian yang terkena serangan Mahesa Jenar tampak membengkak dan kemerah-merahan. Untunglah, daya tahan tubuh Mantingan cukup kuat sehingga Ki Asem Gede tidak perlu bekerja terlalu keras untuk keadaan sudah agak reda, dan Ki Asem Gede sudah tidak sibuk lagi, duduklah mereka di atas bale-bale besar di pendapa Kademangan, mengelilingi lampu minyak yang nyalanya bergoyang-goyang diayun-ayunkan luar, gelap malam mulai turun sebagai tabir raksasa berwarna hitam kelam. Sedangkan di langit satu demi satu bintang mulai bercahaya menembus hitamnya mulai berbicara dan bercerita tentang diri masing-masing. Mahesa Jenar tidak lagi menyembunyikan sesuatu. Diceritakannya seluruh masalah mengenai dirinya, kenapa ia sampai meninggalkan Demak.“Aku telah menanggalkan pakaian keprajuritan dan telah menyisihkan segala macam senjata, dengan suatu keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah Sang Pencipta. Tetapi rupa-rupanya Sang Pencipta belum berkenan, sehingga aku masih dikendalikan oleh nafsu,” kata Mahesa yang mendengarkan mengangguk-anggukan kepala, dan mereka merasa juga bersalah, sehingga Mahesa Jenar terpaksa menyesali itu mulailah hidangan mengalir. Demang Pananggalan yang merasa telah menyakiti hati Mahesa Jenar, ingin sedikit mengurangi kesalahannya dengan menghidangkan apa yang mungkin dihidangkan pada saat itu. Sedangkan Ki Asem Gede, kecuali seorang yang bijaksana serta mempunyai ilmu obat-obatan, ternyata juga seorang yang jenaka. Banyak hal yang dapat ia ceritakan tentang dirinya dengan lucu sekali, sehingga suasana menjadi meriah dan bagaimana ia terpaksa sekali mengobati seorang yang sakit, hanya dengan air saja, tanpa ramu-ramuan obat yang lain. Sebab, pada saat itu ia sedang berada dalam perjalanan dan tak membawa obat-obatan yang diperlukan.“Tetapi... tiga hari kemudian orang itu datang kepadaku, dengan membawa empat ikan gurameh sebesar penampi, sebagai ucapan terima kasih atas obat-obatku yang mujarab,” kata Ki Asem Gede. "Sebabnya," sambung Ki Asem Gede, kenapa obat-obatku banyak yang dapat berhasil, adalah sebagian besar dari mereka yang aku obati mempunyai kepercayaan kepadaku. Bahwa seseorang yang menderita sakit merasa berbesar hati, adalah merupakan obat yang banyak menolongnya. Lebih daripada itu, semuanya adalah berkat kuasa Allah SWT. tetapi... —suara Ki Asem Gede terputus—.Mereka yang mendengarkan jadi bertanya-tanya dalam hati, kenapa tiba-tiba saja wajah Ki Asem Gede yang cerah menjadi muram? Beberapa kali ia menelan ludah, seperti ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya.“Tetapi...” ulang Mahesa Jenar yang ingin mendengar kelanjutan ceritera Ki Asem Gede itu.“Ah tak apalah,” tukasnya. “Segala sesuatu ada pengecualiannya. Sebagai seorang yang beratus bahkan beribu kali menyembuhkan orang sakit, maka sekali-kali Allah tak memperkenankan juga. Itu adalah suatu bukti akan kebesaran-Nya,” lanjut Ki Asem Jenar maklum bahwa ada sesuatu yang tak mau ia sebutkan. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut.“Nah... Anakmas...” sambung Ki Asem Gede kemudian, sambil berusaha untuk mengembalikan suasana, “kenapa tidak saja Anakmas berceritera tentang apa yang Anakmas jumpai di perjalanan. Tidakkah Anakmas menjumpai kejadian kejadian yang lucu, misalnya, seperti yang terjadi di sini? Seorang seperti Adi Pananggalan dan Adi Mantingan berlagak sebagai seorang sakti.”Mendengar pertanyaan ini Mahesa Jenar tersenyum, demikian juga Demang Pananggalan dan Dalang Mantingan, meskipun kalau teringat akan hal itu, hati mereka masih pertanyaan itu, Mahesa Jenar teringat akan keperluannya datang ke desa itu. Yaitu, ingin mengetahui jawaban teka-teki tentang adanya kerangka yang dijumpainya di puncak Gunung Ijo.“Ki Asem Gede, Bapak Demang Pananggalan serta Kakang Mantingan. Memang sebenarnya ada aku jumpai sesuatu dalam perjalananku yang ingin aku tanyakan. Itulah sebabnya maka aku datang kemari.”Ketika Mahesa Jenar tampaknya bersungguh-sungguh, maka mereka yang mendengarkanpun menjadi bersungguh-sungguh pula.“Di puncak Gunung Ijo,” sambung Mahesa Jenar, "aku jumpai sesuatu yang mencurigakan. Alat-alat minum yang berserak-serakan. Bekas unggun api. Dan yang paling mengherankan adalah adanya batu-batu yang disusun sebagai suatu tempat untuk sesaji, sedangkan di atasnya terdapat kerangka perempuan. Dan tidak jauh dari tempat itu, aku ketemukan pula kerangka yang lain. Juga seorang perempuan.”Mendengar pertanyaan itu Demang Pananggalan menundukkan muka dalam-dalam. Ki Asem Gede mengerutkan dahinya yang sudah dipenuhi oleh garis-garis ketuaannya, sedangkan Dalang Mantingan menarik nafas keadaan itu maka makin nyatalah bagi Mahesa Jenar bahwa daerah ini pasti langsung mengalami bencana yang bertalian dengan peristiwa Gunung Ijo.“Anakmas...” jawab Ki Demang Pananggalan dengan suara yang dalam. “Akulah orangnya, kalau ada orang tua yang sama sekali tak berguna.”Ia berhenti sebentar menelan ludah, lalu sambungnya, “Apalagi aku sebagai seorang Demang, yang seharusnya dapat memberikan perlindungan kepada rakyatku. Tetapi nyatanya aku sama sekali tak mampu berbuat demikian.”Kembali Demang tua itu berhenti berbicara. Matanya memandang jauh menusuk gelapnya malam. Di halaman, beberapa orang masih duduk berkelompok-kelompok sambil berceritera tentang kehebatan pertarungan siang Pananggalan mengeser duduknya sedikit. Matanya masih menembus gelap, seolah-olah ada yang dicarinya di kegelapan itu. Tetapi rupa-rupanya ia ingin melanjutkan ceriteranya. Ki Demang pun meneruskan ceritanya.“Ketika itu, di daerah ini lewat serombongan orang-orang berkuda. Didesa ini mereka berhenti dan minta untuk menginap barang semalam. Mereka memasuki desa ini menjelang senja. Karena tak ada tanda-tanda yang aneh pada mereka, serta sikap pimpinannya yang ramah maka kami tak dapat menolak permintaan itu. Rombongan itu dipimpin oleh dua orang suami-isteri yang akan mengadakan ziarah ke Gunung Baka. Tetapi ketika malam pertama telah lewat, mereka minta untuk diperkenankan bermalam semalam lagi sambil melepaskan lelah dan mengadakan persiapan-persiapan untuk sesaji. Permintaan ini pun tak dapat aku tolak.”Sekali lagi ia berhenti. Rupa-rupanya ia sedang mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Kemudian ia kembali menyambung ceritanya.“Tetapi terkutuklah mereka. Terkutuklah rombongan orang-orang berkuda itu. Pada malam kedua mereka menangkap seorang gadis yang sedang pergi ke sungai. Gadis ini sempat menjerit, dan seorang yang baru pulang dari mengairi sawahnya dapat menyaksikan peristiwa itu. Pengantar gadis itu, seorang pemuda tanggung dipukulinya sampai pingsan, maka ketika hal itu disampaikan kepada kami, meledaklah amarah kami. Segera Banjar Kademangan yang kami sediakan sebagai tempat penginapan mereka, kami kepung rapat-rapat, mereka segera kami ancam untuk menyerah, tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan kami, mereka sama sekali tidak menghiraukan kehadiran kami, orang-orang hampir seluruh desa ini, ketika kami mendengar gadis itu menjerit, hati kami tak tahan lagi, cepat-cepat kami menyerbu masuk, tetapi rupa-rupanya mereka telah siap menanti kedatangan kami, dan segera terjadilah pertempuran. Orang-orang kami lebih banyak dikendalikan oleh kemarahan yang meluap-luap, daripada kesediaan untuk bertempur, apalagi rombongan berkuda itu ternyata terdiri dari orang-orang yang tangguh, maka lenyaplah segala kesan keramah-tamahan mereka. Bahkan tampaklah betapa dahsyat cara mereka menjatuhkan lawan. Beberapa saat pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya, tetapi segera tampak betapa lemahnya kami. Segera orang-orang kami dapat dihantam dan dicerai-beraikan. Aku tidak lagi dapat berpikir lain daripada bertempur mati-matian. Dan aku beserta Baureksa dan Gagak Ijo sebagai orang- orang yang paling dapat dipercaya pada waktu itu, berhasil menerobos masuk ke banjar, sehingga kami bertiga langsung terlibat dalam perkelahian melawan suami-istri pemimpin gerombolan itu. Mungkin terdorong oleh kemarahanku maka terasa seolah- olah tenagaku menjadi berlipat-lipat. Si istri itu pun ternyata mempunyai ilmu yang tinggi, ditambah lagi betapa kasarnya cara mereka bertempur. Si Suami menerkam dan mengaum seperti harimau, sedangkan si isteri menyerang dengan jari-jari yang dikembangkan. Wajah-wajah mereka yang ramah itu sekarang sudah berubah menjadi wajah-wajah iblis yang aku sama sekali tidak peduli. Mungkin saat itu, akupun berkelahi seperti iblis. Tetapi kemudian ternyata bahwa kami bertiga bukanlah lawan mereka. Apalagi tenagaku adalah tenaga orang tua yang sangat terbatas. Ketika nafasku sudah mulai mengganggu, segera aku merasa terdesak, sedangkan serangan mereka semakin lama menjadi semakin kasar.”Demang tua itu menarik nafas sambil membetulkan duduknya, kemudian ia melanjutkan,“Saat itu aku sudah berpikir bahwa rupa-rupanya ajalku sudah hampir tiba. Sebab daya tahanku semakin lama menjadi semakin lemah. Apalagi Baureksa dan Gagak Ijo sama sekali tak dapat berbuat sesuatu. Tetapi ternyata ALLAH menghendaki lain. Rupa- rupanya salah seorang telah memberitahukan kesulitan-kesulitan kami ini kepada Ki Asem Gede, yang pada saat yang tepat datang menolong kami.”Demang itu berhenti berceritera. Pandangan matanya yang suram itu dilemparkan kepada Ki Asem Gede. Lalu katanya,“Selanjutnya Ki Asem Gede-lah yang lebih mengetahuinya."Mahesa Jenar mendengarkan cerita Demang tua itu dengan penuh perhatian. Terbayang betapa Demang tua itu telah berusaha mati-matian untuk melindungi rakyatnya, sampai ia tidak memikirkan nasibnya sendiri. Tetapi rupa-rupanya lawannya adalah orang yang Asem Gede yang diminta melanjutkan cerita itu, berkisar sedikit. Dipandangnya pelita yang nyalanya bergerak-gerak oleh angin yang berhembus ke batuk- batuk sedikit, lalu mulailah ia bercerita. “Anakmas, sebenarnya bukanlah pertolongan yang aku berikan, tetapi semata-mata hanyalah karena kebetulan saja dan terutama atas kehendak ALLAH. Aku bukanlah orang yang mempunyai kepandaian yang cukup untuk bertanding. Kalau pada masa mudaku, sekali dua kali aku pernah terlibat dalam suatu pertarungan, itu sama sekali bukan karena aku mampu melakukannya, tetapi itu hanyalah karena kebodohan dan kesombonganku yang kosong Mahesa Jenar mengamati tubuh Ki Asem Gede yang sudah tua sudah melipat-lipat dan hampir seluruh rambutnya, bahkan alisnya pun telah memutih seluruhnya. Namun gerak-geriknya masih tampak tanda-tanda kelincahan. Ini menandakan bahwa pada masa mudanya ia adalah seorang yang kuat. Bahkan mungkin sampai saat ini pun ia masih memiliki kekuatan itu.“Pada masa mudaku,” sambung Ki Asem Gede, “memang aku pernah berguru kepada seseorang yang dikenal dengan nama Ki Tambak Manyar.”Mendengar nama itu disebut-sebut, Mahesa Jenar terhenyak, sebab ia pernah mendengar nama itu dari almarhum gurunya bahwa almarhum Ki Tambak Manyar adalah seorang prajurit Majapahit yang tangguh. Karena itu, mau tidak mau ia harus memandang Ki Asem Gede sebagai seorang yang berilmu, baik dalam obat-obatan maupun ilmu tata berkelahi. Bahkan rupa-rupanya ia memiliki kecerdasan otak yang tidak mengecewakan pula.“Tetapi,” lanjut Ki Asem Gede, “sebagai aku katakan tadi, aku tidak banyak mendapat kemajuan. Barangkali tubuhku terlalu ringkih untuk melakukan hal-hal yang berat dan keras. Karena itu Ki Tambak Manyar melatih aku dalam hal mempergunakan senjata sebaik-baiknya. Baik jarak pendek maupun jarak jauh. Dan ini adalah suatu keuntungan. Sebab ilmu ini dapat aku berikan kepada banyak orang sekaligus meskipun tidak sedalam-dalamnya, kecuali hanya kepada satu-dua orang saja. Terutama dalam hal mempergunakan bandil, panah, supit dan sebagainya.”Orang tua itu berhenti sebentar dan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia melanjutkan,“Kepandaian yang tak berarti itu ternyata berguna juga dalam suatu waktu, dimana Adi Pananggalan hampir menjadi korban keganasan orang-orang berkuda itu. Ketika aku datang, penduduk kademangan ini telah kehilangan semangat dan hampir putus-asa. Sedangkan kalau sampai terjadi penduduk daerah ini melarikan diri, akibatnya akan hebat sekali. Orang-orang berkuda itu pasti akan melakukan tindakan-tindakan yang ganas dan kotor lainnya. Karena itu, segala usaha untuk mengusir mereka itu harus dijalankan. Pada saat itulah, maka aku mengumpulkan orang-orang yang sudah ketakutan itu dan berusaha untuk membangkitkan semangatnya kembali. Aku peringatkan kepada mereka bahwa sebaiknya kita melawan orang-orang berkuda itu dari jarak jauh, sebab dengan mengadu kekuatan sudah jelas bahwa kepandaian dan keperkasaan mereka jauh di atas kita. Dengan jumlah yang banyak dan serangan-serangan jarak jauh, mungkin kita akan berhasil mengacaukan mereka.”“Dengan mempergunakan senjata ini” lanjut Ki Asem Gede, “rupa-rupanya semangat mereka bangkit kembali. Dan sebentar kemudian, setelah segala siasat ditentukan, mulailah kami menyerang orang-orang berkuda itu dari jarak jauh dan dari segala jurusan. Orang-orang kami mempergunakan panah, supit dan bandil. Sedang rupa- rupanya orang-orang berkuda itu tidak bersiap untuk melakukan pertempuran jarak jauh, sehingga berhasilah siasat kami untuk mengacaukan perhatian mereka. Apalagi kami mempergunakan panah yang ujungnya kami balut dengan kain berminyak serta kami nyalakan. Akhirnya pemimpin mereka suami isteri itu terpaksa keluar dari Banjar dan akhirnya merekapun dapat kami usir pergi”“Tetapi yang menyedihkan kami adalah, Adi Demang Pananggalan, Baureksa dan Gagak Ijo, mengalami luka-luka yang cukup berat, serta tidak sadarkan diri. Apalagi gadis yang ditangkapnya itu. Ia mengalami ketakutan yang sangat sehingga akhirnya ia memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kesadarannya.”Kembali Ki Asem Gede berhenti. Ia membetulkan duduknya dan seolah-olah menunggu Mahesa Jenar meresapi Mahesa Jenar, persoalannya menjadi semakin jelas. Bahwa pernah terjadi percobaan untuk menculik gadis di daerah ini. Untunglah bahwa usaha itu dapat digagalkan. Tetapi meskipun demikian, rupanya, di daerah ini rombongan itu berhasil mendapatkan gadis-gadis untuk korban upacaranya yang aneh itu.“Kemudian sesudah itu...” Ki Asem Gede melanjutkan lagi, “di atas salah satu puncak pegunungan Baka, yaitu puncak Gunung Ijo, hampir tiap malam terlihat api yang menyala-nyala. Kami kemudian hampir memastikan bahwa rombongan orang-orang berkuda itu pergi kesana. Kami merasa bahwa rombongan itu adalah rombongan yang berbahaya, tetapi kami tidak segera dapat memburunya sebab kami mengetahui kekuatannya”“Meskipun demikian kami memutuskan untuk pada suatu saat akan menyusul mereka. Mengusir mereka atau kalau mungkin menghancurkan mereka sama sekali. Akan tetapi beberapa waktu kemudian tidak lagi pernah nampak nyala api di puncak Gunung Ijo. Dan sekarang Anakmas datang dengan membawa penjelasan tentang apa yang kira-kira pernah terjadi di atas puncak Gunung Ijo itu.”Cerita Ki Asem Gede diakhiri dengan suatu tarikan nafas yang panjang. Suatu tarikan nafas Jenar sekarang sudah pasti, bahwa orang-orang berkuda itu adalah orang orang yang mempunyai kepercayaan pernah terdengar adanya suatu aliran kepercayaan yang dalam upacaranya menggunakan gadis-gadis sebagai korban, disamping pemanjaan nafsu-nafsu lahirlah yang lain. Minuman keras, makan dengan suatu cara yang hampir dapat disebut buas, dan kemudian menjadi sepi. Sedang malam semakin lama semakin dalam. Mereka dihanyutkan oleh pikiran masing-masing serta gambaran-gambaran yang mengerikan tentang apa yang terjadi atas gadis-gadis yang dijadikan korban kepercayaan sesat semacam bagian belakang rumah Kademangan itu, tampak adanya suasana yang berbeda sama sekali. Beberapa orang perempuan sedang sibuk mempersiapkan makan malam yang kali ini berbeda dengan kebiasaan, karena adanya seorang tamu yang sangat mereka hormati. Mereka telah menyembelih beberapa ekor ayam yang paling besar yang dapat mereka tangkap. Mereka juga telah mengundang juru masak yang paling terkenal di Kademangan itu. Sehingga tiba-tiba saja seolah-olah Demang Pananggalan sedang melangsungkan suatu perhelatan.
Jilid 45Dalam suatu kesempatan yang lain, Kebo Kanigara melihat bagaimana Arya Salaka bertempur melawan Lawa Ijo. Anak muda itupun menunjukkan betapa gigihnya ia berjuang melawan kejahatan. Tombaknya yang bernama Kyai Bancak itu menyambar- nyambar seperti seribu mata tombak bersama-sama, melawan sepasang pisau belati panjang yang berkilat-kilat ditangan Hantu Alas Mentaok. Namun Arya Salaka telah tumbuh menjadi anak muda yang perkasa. Apapun yang dilakukan lawannya, dengan baiknya Arya dapat melayaninya. Kegarangan dan kekasaran Lawa Ijo sama sekali tak mempengaruhi langkahnya. Apalagi Arya telah membumbui ilmunya dengan segala macam tingkah laku binatang-binatang liar yang pernah menarik perhatiannya. Bagaimana seekor tikus berhasil menyelamatkan dirinya dari gigi-gigi ular berbisa, dan bagaimana seekor kijang yang lemah berhasil membebaskan dirinya dari terkaman serigala-serigala lapar. Namun Arya Salaka pun tahu, bagaimana seekor banteng dengan tanduknya, dalam ketenangan yang luar biasa, berhasil merobek perut seekor harimau yang justru menyerangnya dengan pertempuran itu Kebo Kanigara menarik nafas. Ia menjadi bertambah tenang, sebab dengan demikian ia hampir pasti, bahwa setidak-tidaknya Lawa Ijo tidak akan berhasil membunuh anak muda Jenar pun sempat melihat bagaimana muridnya itu bertempur. Dengan semangat yang menyala-nyala serta kepercayaan pada Keadilan yang Maha Tinggi. Arya Salaka bertempur mati-matian berlandaskan pada suatu keyakinan bahwa bagaimanapun juga kebenaran akan memenangkan Ageng Lembu Sora pun bertempur dengan gigihnya di bagian lain. Dibebani oleh rasa tanggungjawab atas tanah serta kampung halamannya, serta perasaan-perasaan lain yang memburunya selama ini, kekhilafan-kekhilafan yang pernah dilakukannya serta nafsu-nafsu yang memalukan telah mengetuk-ngetuk dinding hatinya. Seakan-akan terdengar suara yang berputar di udara, ”Lembu Sora, kau harus mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah kau lakukan. Lihatlah betapa anak yang akan kau singkirkan itu kini berjuang tanpa pamrih untukmu. Lalu apa yang akan kau lakukan?””Akan aku bunuh kawan-kawanku kini.” Lembu Sora menggeram. ”Mereka adalah orang-orang yang menyeretku ke dalam tindakan-tindakan yang hina.”Lawannya, Ular Laut dari Nusakambangan, terkejut mendengar Lembu Sora tiba-tiba menggeram. Tetapi kemudia iapun tersenyum. Katanya, ”Hati-hatilah Ki Ageng Lembu Sora, jangan melamun. Pedang tipisku ini dapat merobek dadamu.”Kembali Lembu Sora menggeram. Betapa bencinya ia kepada Jaka Soka. Apalagi sejak nyawanya berada di ujung kerisnya sendiri, yang ditekankan ke lambungnya oleh Mahesa Jenar, pada saat laskarnya mencegat laskar Demak yang sedang membawa Gajah Sora. Pada saat itu, seolah-olah ia telah bersumpah, bahwa pada suatu saat ia harus dapat membunuh Jaka Soka dengan tangannya. Tetapi Jaka Soka itupun bukanlah anak-anak yang baru mampu berdiri. Ia adalah seorang bajak laut yang buas. Meskipun wajahnya selalu membayangkan senyuman yang menarik, namun di balik senyumnya itu tersembunyi kejahatan dan kebengisan yang bertimbun-timbun. Hanya karena seorang gadis yang cantik dalam penilaiannya, dan bernama Rara Wilis di hutan Tambakbaya, ia berhasrat untuk membunuh semua orang yang berada di tempat itu, tanpa sebab. Hanya karena mereka mengetahui bahwa ia menginginkan gadis demikian, maka pertempuran di antara merekapun menjadi semakin sengit. Dendam yang membara di dalam dada Lembu Sora telah mendorongnya untuk berjuang sekuat tenaga, sedang Jaka Soka menjadi semakin berani, karena saat itu gurunya yang dibangga-banggakan berada pula di dalam pertempuran itu, mataharipun perlahan-lahan melampau puncak langit. Semakin lama menjadi semakin condong ke barat. Angin pegunungan berdesir lembut mengusap daun-daun pepohonan di ujung-ujung senjata. Setiap orang dalam pertempuran itu berusaha untuk memusnahkan lawan-lanan mereka secepat-cepatnya. Masing-masing berjuang dengan gigih dan tanpa pengendalian diri. Namun tak seorangpun dari mereka yang dengan senang hati menyerahkan nyawanya. Karena itulah maka pertempuran itu bertambah- tambah riuh dan ribut. Keringat dan debu yang melekat pada tubuh mereka, bercampur darah yang meleleh dari luka, sama sekali tak mereka hiraukan. Perasaan sakit dan pedih yang ditimbulkan oleh goresan-goresan ujung senjata sama sekali tak terasa, selagi merka masih dapat berdiri dan mengayunkan senjata-senjata mereka, maka tak ada kesempatan untuk mereka yang telah menjadi lemas karena darah yang terperas hilanglah harapan mereka untuk dapat melihat matahari terbit esok hari. Mereka akan terjatuh dan diinjak- injak. Mungkin oleh lawan dan mungkin oleh kawan. Meskipun demikian, apabila maut belum saatnya datang, ada saja di antara mereka yang berhasil merangkak-rangkak membebaskan diri dari kancah pertempuran, atau seorang kawan yang sempat memapahnya dan Sariti tak pula kalah garangnya. Wadas Gunung, murid Pasingsingan yang muda itu agaknya bertempur pula penuh nafsu dan kemarahan. Tetapi Wadas Gunung tidak segarang Lawa Ijo. Karena itu ia sendiri segera terdesak oleh cucu dan sekaligus murid Ki Ageng Sora Dipayana yang masih sangat muda itu. Namun tiba-tiba seorang yang bertubuh pendek gemuk dengan otot-otot yang menonjol seperti orang hutan, datang membantunya dengan senjata-senjata yang besi yang bertangkai. Orang yang bertubuh bulat itu adalah Bagolan. Bola besinya bergerak dengan garangnya, menyambar-nyambar di antara kilauan dua pisau belati panjang di tangan Wadas Sawung Sariti seolah-olah mempunyai mata. Ke mana keempat senjata lawannya itu mengarah, terdengarlah dentang senjata mereka beradu. Seperti ayahnya, Sawung Sariti dapat berbangga diri karena kekuatan tubuhnya. Meskipun Wadas Gunung bertubuh tegap kuat dan Bagolan memiliki lengan yang berbongkah-bongkah seperti orang hutan, namun Sawung Sariti dapat membentur kekuatan mereka dengan keseimbangan yang cukup. Pedang Sawung Sariti seperti juga pedang ayahnya, berukuran tidak wajar. Pedangnya lebih besar dan lebih panjang daripada pedang biasa. Meskipun pedang itu tidak setajam pedang Jaka Soka, namun dengan pedang itu Sawung Sariti mampu mematahkan besi hadirnya Bagolan, maka pertempuran itu menjadi seimbang. Meskipun semula Wadas Gunung agak malu-malu juga bertempur melawan anak semuda itu berdua. Namun dalam saat-saat hidup dan mati menjadi taruhannya, maka perasaan itupun lenyap tanpa bekas. Dengan baiknya mereka berdua bertempur berpasangan. Maju bersama- sama dari arah yang berbeda. Tetapi pedang Sawung Sariti berputar seperti lingkaran angin yang melindungi tubuhnya, sedemikian rapatnya sehingga tak seujung jarumpun dapat ditembus oleh senjata ternyata seorang jantan. Ia bertempur seperti seekor elang. Dengan garangnya ia menggerakkan pedangnya menyambar-nyambar. Sedang di bagian lain, Galunggung pun tidak mengecewakan. Orang itu bersenjata pedang pula seperti Wulungan. Dengan tangkasnya ia meloncat kesana kemari, menggerakkan pedangnya dengan lincahnya, mematuk-matuk seperti lidah api yang dihembus angin. Beberapa orang dari golongan hitam telah mengenalnya. Mereka telah pernah bekerja bersama-sama dalam usaha mereka memusnahkan Arya Salaka. Namun sekarang mereka harus berhadapan sebagai yang bertubuh pendek, kasar dan menjemukan, menempatkan diri sebagai lawan Galunggung. Orang itu adalah Sakajon. Tokoh kepercayaan Sima Rodra dari Gunung Tidar. Mereka berdua bertempur dengan penuh nafsu. Sakajon dengan pedang pendek namun besar, bertempur seperti seekor babi hutan yang garang, sedang Galunggung melayanipun seperti seekor serigala lapar. Laskar golongan hitam yang bertempur berhadapan dengan sayap kiri laskar Banyubiru menjadi terkejut ketika mereka merasa terbentur pada kekuatan yang tak mereka Gunting dari Rawa Pening, yang semula dengan bangga dapat mendesak laskar Pamingit dari Sumber Panas, kini benar-benar membentur dinding baja. Dengan marahnya Sri Gunting mencoba untuk memusnahkan pimpinan kelompok lawannya. Tetapi orang yang bersenjata tombak bermata dua itu benar-benar yang mempimpin kelompok di bagian tengah sapit kiri itu, dengan gigihnya bertempur melawan tokoh pertama sesudah Uling Rawa Pening. Bahkan tiba-tiba Jaladri menjadi bergirang hati. Setelah sekian lama ia menempa diri di bawah penilikan Ki Dalang Mantingan dan Ki Wirasaba, yang kemudian ditambah dengan beberapa pengetahuan yang berharga dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, kini ia mendapat kesempatan untuk mengamalkannya. Menumpas golongan juga Bantaran yang berada di ujung Sapit kiri. Ia berusaha dengan gigih untuk memotong gerakan lawannya yang mencoba melingkari ujung sayap itu, dan menyerang dari samping dan belakang. Karena keprigelannya maka ia berhasil dalam usahanya itu. Meskipun ia sendiri harus bertempur mati-matian melawan Welang Jrabang, salah seorang kepercayaan Jaka Soka. Namun Bantaran telah memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat menyelamatkan bagian yang lebih padat, tampaklah Penjawi bertempur dengan penuh tekad. Tak ada persoalan hidup atau mati di dalam kepalanya. Ia hanya menyerahkan diri dalam satu pengabdian. Seterusnya ia pasrah diri setelah berjuang sekuat kemampuannya. Namun karena itu, ia menjadi tenang. Dan ketenangannya itulah yang menyebabkan Penjawi menjadi seperti burung alap-alap, yang menyambar-nyambar dengan kuku-kukunya yang runcing Banyubiru benar-benar menakjubkan. Tidak saja lawan-lawan mereka menjadi cemas, tetapi agaknya orang-orang Pamingit yang sempat melihat betapa anak-anak Banyubiru itu bertempur, menjadi bersyukur di dalam hati. Bagaimanakah kiranya seandainya mereka, orang-orang dari Pamingit terpaksa bertempur melawan laskar Banyubiru itu? Laskar yang semula mereka anggap tidak lebih dari sekelompok pemuda yang hanya pandai mencegat pedagang-pedagang yang pergi ke pasar, atau merampok warung-warung penjual makanan untuk menyambung hidup mereka. Kini ternyata bahwa laskar Banyubiru yang berada di sekitar Candi Gedong Sanga itu adalah benar-benar pejuang yang mengabdikan diri pada kian lama menjadi semakin rendah. Awan yang putih tampak berarak-arak di wajah langit yang biru. Burung gagak berterbangan berputar-putar di atas daerah pertempuran yang menghamburkan bau darah. Burung-burung itu berteriak-teriak di udara. Mereka menjadi tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Betapa segarnya darah yang mengalir dari luka. Mereka harus mendapatkannya lebih dahulu sebelum anjing- anjing liar dan serigala-serigala lapar mendahuluinya. Tetapi pertempuran itu masih ribut. Dan burung-burung itupun menjadi semakin tidak sabar dan berteriak-teriak laskar Banyubiru dan Pamingit berhasil mendesak laskar golongan hitam, namun pergeseran garis pertempuran itu tidak seberapa jauh. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa kekuatan mereka seimbang. Korban satu-satu jatuh. Dan masih banyak yang akan menyusul. Setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai kemungkinan yang sama. Mati di ujung senjata. Melihat semuanya itu Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Betapa perasaan ngeri mengorek-orek jantungnya. Setiap ia melihat tubuh yang terbanting di tanah dan setiap telinganya mendengar jerit kesakitan, terasa hatinya seperti tertusuk Kebo Kanigara berhasrat untuk menghentikan pertempuran itu segera. Meskipun sebenarnya tidak saja Kebo Kanigara yang dijalari oleh perasaan yang demikian itu, namun mereka sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu, atau mereka belum berhasil untuk berbuat sesuatu. Ki Ageng Sora Dipayana melihat dengan sedih, korban-korban yang berjatuhan. Setiap kali ia melihat darah yang memancar dari luka, setiap kali ia memperkuat serangan-serangannya, namun lawannya berbuat demikian pula. Bugel Kaliki telah mengerahkan segenap kesaktiannya untuk melawan Ki Ageng Sora Dipayana. Tak jauh berbeda pula perasaan Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten. Merekapun telah berjuang sekuat-kuat tenaga mereka. Semakin cepat pertempuran itu selesai, menjadi semakin baik bagi mereka dan laskar mereka. Jumlah korban mereka, namun lawan mereka tak pula kalah saktinya. Apalagi kemudian, ketika Pasingsingan benar-benar telah dilumuri oleh keringat yang mengalir dari setiap lubang kulitnya, hatinya menjadi bertambah saja di tangannya telah tergenggam pusaka saktinya, Ki Ageng Suluh, sebuah pisau belati panjang kuning gemerlapan. Ki Ageng Pandan Alas terkejut melihat senjata itu. Ia menyangka bahwa Pasingsingan akan melepaskan ilmu andalannya, Gelap Ngampar atau Alas Kobar, atau agaknya Pasingsingan sadar bahwa lawannya mempunyai cukup daya tahan untuk melawannya. Karena itu, ia mengambil ketetapan hati, pusakanya itu akan dapat menyelesaikan masalahnya dengan cepat. Setiap goresan yang dapat melukai kulit Pandan Alas, adalah suatu alamat, bahwa Pandan Alas akan tinggal disebut namanya. Tetapi Pandan Alas tidak mau melawan Kyai Suluh itu dengan pisau yang gemerlapan itu melingkar-lingkar di sekitar tubuhnya, dengan tangkasnya ia menarik pusakanya pula, Kyai Sigar Penjalin. Sebilah keris yang tidak kalah saktinya. Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya menjadi semakin sengit. Tanpa mereka kehendaki, menyingkirlah laskar Banyubiru, Pamingit dan laskar golongan hitam dari daerah sekitar mereka berdua. Sehingga dengan demikian, seolah- olah bagi mereka sengaja disediakan tempat yang cukup luas untuk mengadu pertempuran, yang berupa padang rumput dan sawah-sawah yang terletak di lereng bukit itu, merupakan daerah yang sama sekali tidak rata. Ada bagian yang cekung, namun ada bagian-bagian yang menjorok naik, sehingga dengan demikian memungkinkan bagi mereka untuk dapat melihat arena pertempuran itu seluas-luasnya. Demikianlah agaknya maka hampir setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai gambaran atas peristiwa yang terjadi di arena itu. Kalau mereka berkesempatan, dapatlah mereka melihat betapa debu mengepul tinggi ke udara dari daerah sayap kiri, atau kilatan ujung senjata di sayap kanan. Mereka dapat juga melihat daerah-daerah yang lengang di tengah-tengah arena, yang merupakan pertanda bahwa di daerah itulah tokoh-tokoh sakti sedang mengadu tenaga sehingga tak seorangpun yang berani matahari telah surut ke ufuk barat, Ki Ageng Sora Dipayana menjadi semakin gelisah. Apabila malam tiba, dan pertempuran ini harus dihentikan, maka akan terulang kembali perisitiwa ini besok pagi. Bertempur, bunuh-membunuh dan korban akan berjatuhan. Demikian seterusnya. Mungkin berhari-hari, seperti ia sendiri akan mengalaminya melawan Bugel Kaliki. Mungkin seminggu, dua minggu. Ia sendiri atau Bugel Kaliki akan betahan terus, tetapi laskarnya akan semakin surut. Namun demikian, apa yang dilakukan adalah batas tertinggi dari kemampuannya. Sebab Bugel Kaliki pun berusaha untuk membunuhnya seperti apa yang diusahakannya atas orang itu. Demikian juga Pandan Alas dan Titis Anganten. Tetapi di sapit sebelah kiri terjadilah hal yang agak berbeda. Ketika Kebo Kanigara melihat warna lembayung membayang dilangit, ia menarik keningnya. Ketika ia sekilas melihat Mahesa Jenar yang bertempur tidak demikian jauh darinya, ia tersenyum pada saat itupun Mahesa Jenar dihinggapi oleh perasaan yang sama seperti perasaan yang menjalar di dalam dada Ki Ageng Sora Dipayana, di dalam dada Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan Kebo Kanigara. Karena itulah maka, seperti mereka pula, mencemaskan betapa korban akan berjatuhan besok pagi, lusa atau seterusnya, apabila keseimbangan pertempuran tidak segera itu, ketika senja mewarnai langit, terdengar ia menggeram perlahan-lahan. Sekali lagi dengan tajamnya ia memandang wajah Sima Rodra yang bertempur dengan dahsyatnya sambil mengaum mengerikan. Tiba-tiba di wajah itu terbayanglah betapa keji perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan. Kalau anak perempuannya telah melakukan perbuatan yang terkutuk, apakah kira-kira yang pernah dilakukan oleh Harimau tua itu? Berapa puluh gadis yang pernah dikorbankan untuk upacara-upacaranya yang aneh-aneh?Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Agaknya Sima Rodra pun sadar bahwa menjelang malam, ia harus mengambil suatu kepastian, supaya besok pertempuran dapat dimulai dengan permulaan yang berbeda. Karena itu Sima Rodra pun menjadi bertambah liar. Akhirnya terjadilah suatu hal yang Rodra itu mengaum dengan dahsyatnya, serta menggerakkan seluruh tubuhnya seperti orang yang menggigil Jenar pernah melihat gerakan-gerakan yang demikian. Pada saat itu ia mengambil pusaka-pusaka keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dari Gunung Tidar. Untunglah bahwa pada saat itu Titis Anganten datang menolongnya, sehingga kekuatan aji Sima Rodra yang dinamainya Macan Liwung itu dapat dipunahkan. Dan keadannya kini pun sudah tidak memerlukan pertolongan orang lain. Karena itu, selagi ia berkesempatan, segera ia mengatur jalan pernafasannya baik-baik, memusatkan segenap pancaindra dan satu kakinya, satu tangannya bersilang dada dan tangannya yang lain diangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menggapai pada saat yang tegang itu terdengarlah bibir Mahesa Jenar bergumam, ”Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, tiada kekuasaan dan tiada kekuatan kecuali dari Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Besar.”Pada saat itulah ia melihat Sima Rodra itu meloncat dengan kecepatan dan kekuatan yang tak dapat dikira-kirakan. Mahesa Jenar berusaha untuk tidak membenturkan diri dengan kekuatan aji Macan Luwung itu. Dengan lincahnya ia meloncat selangkah ke kanan, kemudian dengan satu putaran ia menghindari serangan Sima Rodra. Sima Rodra yang telah melancarkan kekuatan yang tiada taranya, dengan kecepatan yang luar biasa pula, menjadi kehilangan daya tahannya untuk menarik terdorong selangkah ke depan, ketika pada saat yang bersamaan Mahesa Jenar berputar lagi untuk kemudian dengan garangnya meloncat ke arah Harimau yang telah menjadi gila itu. Semuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang sangat meluncur seperti seekor naga yang mematuk mangsanya secepat tatit, sedang tak ada sekejap mata kemudian, Sima Rodra menerkam pula seperti seekor Harimau gila, secepat petir menyambar. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan Lembu Sora beserta Sawung Sariti, demikian juga Arya Salaka, hanya sempat melihat betapa dua orang, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bersikap serupa. Kedua-duanya sedang menyalurkan aji yang sama dengan cara yang sama, Sasra Birawa. Meskipun persamaan itu telah menimbulkan suatu teka-teki pada mereka, dan bahkan tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam, namun mereka tidak sempat menebak-nebak lagi, ketika mereka melihat apa yang terjadi Kebo Kanigara sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Dengan tatag dan penuh kepercayaan kepada diri, ia membenturkan aji Sasra Birawa melawan aji Nagapasa, sedang di lain pihak Mahesa Jenar telah menghemat tenaganya dan melakukan suatu tindakan yang pasti, menghindari benturan dengan aji Macan Liwung, namun dengan pasti ia berputar satu kali dan mengayunkan ajiannya Sasra Birawa. Dalam keadaan yang demikian Sima Rodra hanya mampu untuk bertahan. Tetapi apa yang terjadi benar-benar telah menggoncangkan setiap dada mereka yang menyaksikan. Dua benturan yang hampir bersamaan disusul dengan bunyi yang gemuruh dua kali berturut-turut. Kemudian apa yang mereka saksikan hampir-hampir tak dapat seorang yang sakti tanpa banding di sekitar pulau Nusakambangan, bahkan yang tak terkalahkan oleh setiap tokoh sakti yang manapun dari golongan hitam maupun lawan-lawan mereka, kini terbanting diam. Meskipun tak sempat semenitpun tampak luka pada kulitnya, namun isi dadanya serasa hangus terbakar. Karena itu, Nagapasa tidak usah mengaduh untuk kedua kalinya. Naga Laut yang mengerikan itu mati di tangan Kebo Kanigara, orang yang sama sekali tak dikenal, baik oleh golongan hitam, maupun oleh para pemimpin Banyubiru dan tidak jauh darinya, Sima Rodra mengaum dahsyat, sekali ia menggeliat, kemudian diam untuk selama-lamanya. Mati. Untuk beberapa saat, semua orang yang menyaksikan peristiwa itu terpaku di Sora dan Sawung Sariti tak begitu jelas melihat apa yang terjadi. Yang diketahuinya kemudian adalah sorak-sorai yang membahana seperti benteng runtuh. Sayup-sayup terdengar di antara gemersik angin senja, laskar Banyubiru berteriak-teriak, ”Nagapasa mati, Nagapasa mati...!” Kemudian disusul, ”Sima Rodra mati, Sima Rodra mati...”Teriakan-teriakan itu benar-benar hampir tak dipercaya. Bagaimana mungkin Nagapasa dapat mati, dan Sima Rodra tua dari Lodaya itu pula. Apakah Mahesa Jenar dan sahabatnya itu mampu membunuh mereka? Tetapi sorak itu masih mengumandang terus. Bahkan kemudian menjalar hampir ke segenap daerah pertempuran. Namun bagaimanapun juga berita itu sangat meragukan. Bahkan, Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten, yang beruntung dapat melihat peristiwa itupun, meragukan penglihatannya. Mereka saling memandang satu sama lain. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka dengan penuh kekaguman dan keheranan.”Suatu keajaiban,” desis Sora Dipayana. Tokoh-tokoh sakti itu terpaksa menahan gelora perasaan mereka yang melonjak-lonjak. Meskipun ia telah menempa diri, serta sejak ia melihat untuk pertama kali atas orang yang bernama Kebo Kanigara itu, sudah terasa padanya betapa besar pengaruhnya terhadap Mahesa Jenar, namun sama sekali tak diduganya bahwa Kebo Kanigara itupun memiliki ilmu keturunan Pengging yang sedemikian sempurnanya sehingga timbullah keraguan di dalam hatinya, bahwa orang itu adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, sebaya dengan mereka. Sedang orang yang bernama Kebo Kanigara itu ternyata, sebagaimana terbukti, telah berhasil membunuh Nagapasa dalam suatu benturan demikian dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa orang itu pasti memiliki kesempurnaan Sasra Birawa lebih dahsyat daripada Ki Ageng Pengging Sepuh yang perkasa. Sebab seandainya Ki Ageng Pengging Sepuh masih ada di antara mereka dalam tatarannya, dan membenturkan diri melawan Nagapasa, belum dapat diambil suatu kepastian bahwa ilmu Sasra Birawa itu akan dapat mengatasi, apalagi sampai membunuh Nagapasa. Tetapi disamping itu, Mahesa Jenar pun ternyata dapat membunuh Sima Rodra, pada saat Sima Rodra telah siap melawan Sasra Birawa yang Mahesa Jenar telah berhasil menyusul kesempurnaan gurunya sekalipun, Sima Rodra itu pasti tidak akan mati. Namun adalah suatu kenyataan. Nagapasa dan Sima Rodra mati hampir pada saat yang bersamaan karena aji yang sama, Sasra Birawa. ”Dari manakah anak-anak muda itu mendapat kedahsyatan dan kesempurnaan ilmunya?” gumam Titis SORA, setelah mendapat suatu kepastian tentang kematian Nagapasa dan Sima Rodra, menjadi gemetar. Bulu-bulu tengkuknya serentak berdiri. Terasa betapa punggungnya saja ia terlibat dalam perkelahian melawan Mahesa Jenar, bahkan sampai terulang beberapa kali. Dahulu ia tidak dapat mengalahkannya. Meskipun kemudian ilmunya berkembang dengan pesat, namun apakah ia dapat berhadapan melawan Sima Rodra...? Sedang Mahesa Jenar itu telah berhasil membunuh Harimau Lodaya itu. Dan seandainya Sasra Birawa itu dikenakan pada tengkuknya, apakah kira-kira yang akan terjadi? Mungkin lehernya akan patah, bahkan mungkin kepalanya akan terlontar dan pecah Lembu Sora mengucap syukur, dan sekaligus ia benar-benar tenggelam dalam perasaan kagum dan hormat. Meskipun Mahesa Jenar telah memiliki kedahsyatan ilmu Sasra Birawa, namun ia selalu menghindari bentrokan dengan dirinya. Benar-benar suatu sikap yang jarang ditemuinya. Sesaat kemudian, di antara derai sorak-sorai laskar Banyubiru, kembali terdengar dentang senjata beradu. Laskar Banyubiru menjadi bertambah berani dan berbesar hati, sedang sebaliknya di laskar golongan hitam menjadi ngeri. Dua tokoh sakti dari antara mereka telah mati. Dan kematian dua orang itu benar- benar mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Pasingsingan, Bugel Kaliki dan Sura Sarunggi harus berpikir untuk kesekian kalinya. Meskipun lawan-lawan mereka tak akan dapat membunuhnya dengan mudah, tetapi bagaimanakah kalau tiba-tiba Kebo Kanigara atau Mahesa Jenar datang mendekat? Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam menjadi Jaka Soka. Sama sekali tak dimengertinya apa yang sebenarnya terjadi. Gurunya yang diagung-agungkan selama ini, mati di tangan orang yang tak bernama. Alangkah anehnya dunia ini. Ia menyesal bahwa gurunya melibatkan diri dalam persoalan ini. Atas permintaannya. Gurunya, yang jarang-jarang menampakkan diri, terpaksa menyeberangi selat Nusakambangan. Tetapi itupun bukan salahnya, sebab ternyata Lawa Ijo, Sima Rodra Gunung Tidar, Uling Rawa Pening pun telah membawa guru mereka masing- masing. Sehingga apabila kemudian mereka memperoleh kemenangan akan terdesaklah dirinya, apalagi gurunya tidak ada di sampingnya. Tetapi kini gurunya itu sudah tidak ada lagi. Karena itu hatinya menjadi kecut. Apapun yang terjadi, maka ia akan mengalami kekalahan. Kemenangan golongan hitampun sama sekali tak berarti baginya. Sebab kemenangan itu pasti akan dimiliki oleh Lawa Ijo dan Pasingsingan atau Sura Sarunggi, bahkan mungkin Bugel Kaliki. Ia hanya dapat mengharap embun yang menetes dari langit, apabila tokoh-tokoh sakti itu dalam pertentangan kemudian menjadi itu mustahil terjadi. Yang mungkin terjadi, mereka akan membagi kemenangan. Dan Nusakambangan akan dipencilkan. Karena itu, Jaka Soka telah kehilangan nafsunya untuk bertempur terus. Ia kini tinggal mempertahankan dirinya supaya tidak mati. Ketika ia memandang langit yang telah hampir kehilangan cahayanya, ia menjadi gembira. Ia tidak mau meninggalkan medan hanya karena keseganannya kepada kawan-kawannya. Atau tuduhan-tuduhan lain yang semakin menyulitkan kedudukannya. Dalam pada itu, matahari beredar terus. Ketika tokoh-tokoh sakti dari keduabelah pihak terlibat kembali dalam pertempuran, warna-warna yang kelam mewarnai lembah-lembah yang cekung. Perlahan-lahan warna itu merayapi tebing semakin tinggi. Angin pegunungan yang sejuk terasa silirnya mengusap Jenar dan Kebo Kanigara yang telah kehilangan lawannya tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih diam dan tegak di tempat masing-masing. Namun di daerah sekitar mereka benar-benar telah menjadi sepi. Orang-orang dari Laskar golongan hitam, jauh-jauh telah menyingkir dari kedua orang yang luar biasa itu. Akhirnya malampun datang merebut waktu. Medan itu menjadi semakin mereka yang bertempur telah kehilangan pengamatan atas kawan dan lawan. Karena itu, terdengarlah sebuah tengara atas perintah sasmita dari Ki Ageng Sora Dipayana. Ketika sangkalala itu berbunyi, laskar Banyubiru dan Pamingit segera mempersiapkan diri mereka untuk menghentikan peperangan. Mereka tidak lagi mengambil kesempatan- kesempatan untuk menyerang, namun mereka tidak mau diserang dalam keadaan yang demikian. Tetapi agaknya golongan hitam itupun benar-benar telah kehilangan semangat mereka. Demikian mereka mendengar bunyi sangkalala, yang meskipun mereka tahu, bahwa tanda itu diberikan oleh pimpinan laskar lawannya, namun dengan serta merta mereka berloncatan mundur dan dengan serta merta pula pertempuran itu berhenti. Laskar golongan hitam itu segera menarik diri. Seperti juga mereka datang, mereka pergi demikian saja tanpa ikatan satu sama lain. Seolah-olah mereka tidak terdiri dari satu pasukan yang baru saja bertempur. Tetapi seolah-olah mereka adalah rombongan orang yang pulang nonton tayub dan menjadi mabuk tuak. Berbondong-bondong dengan langkah gontai, mereka meninggalkan orang mencoba menolong kawan-kawan mereka yang luka dan memapahnya. Tetapi kebanyakan dari mereka sama sekali tidak ambil pusing kepada mereka yang terpaksa berjalan sambil merintih-rintih, bahkan hampir merangkak-rangkak sekalipun. Apalagi mereka yang terluka dan parah terbaring di bekas daerah pertempuran itupun sama sekali tidak mendapat perhatian. Telah menjadi kebiasaan mereka, laskar golongan hitam, untuk menjaga diri masing-masing. Bahkan untuk kepentingan rahasia mereka, sama sekali mereka tidak segan membunuh kawan sendiri. Berbeda dengan laskar Pamingit dan Banyubiru. Segera mereka berkumpul dalam kelompok masing- kelompok yang tetap hidup segera menghitung laskar mereka, sedang yang terpaksa gugur atau terluka, segera ditunjuk gantinya. Mereka segera membentuk kelompok-kelompok yang mendapat tugas khusus, merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan gugur dimedan perjuangan menegakkan hak atas tanah mereka. Bahkan tugas mereka melimpah pula kepada kawan-kawan mereka yang parah. Merekapun berhak mendapat pertolongan dan pengobatan atas luka-luka medan pertempuran itu segera menjadi sepi. Beberapa orang dengan obor di tangan menjalankan tugas mereka. Sedang orang-orang lain, dalam satu barisan yang tertib kembali ke perkemahan di Pangrantunan. Mereka harus mempergunakan waktu istirahat mereka mereka masih harus bertempur lagi. Mungkin mereka akan mendesak maju. Mereka merasa bahwa keseimbangan pertempuran telah berubah. Bahkan mungkin besok mereka telah dapat memasuki Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten, demikian pertempuran selesai, segera pergi bergegas-gegas menemui Mahesa Jenar dan Kebo mereka telah berdiri di hadapan kedua orang itu, tiba-tiba tanpa sengaja mereka mengangguk hormat. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi kaku karenanya. Merekapun segera menghormat tokoh-tokoh sakti yang sebaya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh segera terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata, ”Sungguh luar biasa. Angger Mahesa Jenar dan Angger Putut Karang Jati. Kami orang-orang tua ini, agaknya telah kehilangan daya pengamatan atas cahaya teja yang memancar dari tubuh Angger berdua. Sebagaimana terbukti, bahwa Angger telah melakukan sesuatu yang tak dapat kami duga sebelumnya karena rasa sombong di hati kami. Seolah-olah tak ada orang lain yang dapat menyamai kesaktian-kesaktian kami. Ternyata bahwa Angger berdua memiliki kesaktian jauh di atas kesaktian kami orang-orang tua yang tak tahu diri.”Mahesa Jenar menjadi semakin kaku. Ia tidak pernah melihat sikap yang sedemikian merendahkan diri dari tokoh-tokoh tua itu. Karena itu ia menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab. Yang kemudian terdengar adalah jawab Kebo Kanigara, ”Ada kekuasaan di atas, kekuasaan-Nya, dan berterima kasih kepada-Nya pula. Kami tidak lebih hanyalah lantaran-lantaran yang ditunjuknya.”Tokoh-tokoh sakti yang mendengar kata-kata Kebo Kanigara itu langsung tersentuh hatinya. Sebagai orang-orang yang taat beribadah, mereka langsung dapat merasakan betapa Tuhan mengulurkan Tangan-Nya untuk menolong itu, mereka yang mendapat tugas di bekas medan pertempuran itu menjalankan pekerjaan mereka dengan tertib. Mereka berusaha meringankan setiap penderitaan dari mereka yang terluka. Ki Ageng Sora Dipayana dan kawan-kawannyapun mendahului kembali ke perkemahan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tak banyak yang mereka percakapkan di sepanjang perjalanan itu. Namun di dalam dada tokoh-tokoh sakti itu masih tetap tersimpan berbagai pertanyaan mengenai Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Pagi tadi mereka masih menyangka bahwa kedua orang itu masih harus bertempur dalam perlindungan mereka dan laskar-laskar mereka. Tetapi tiba-tiba suatu kenyataan, kedua orang itu memiliki kesaktian melampaui kesaktian mereka perkemahan, segera Ki Ageng Sora Dipayana mengatur penjagaan dan pengawasan atas daerah perkemahan mereka dan pengawasan atas daerah lawan. Beberapa orang mendapat tugas untuk mengamat-amati perkemahan dan setiap gerak- gerik dari laskar golongan hitam. Apapun yang mereka lakukan, para pengawas itu harus memberikan laporan setiap saat dengan tertib. Ketika Ki Ageng Sora Dipayana kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar pergi membersihkan diri, sambil mengambil air wudlu, dari celah-celah pintu rumah tempat peristirahatannya mereka melihat Lembu Sora sedang Jenar berhenti pula ketika tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana berhenti. Orang tua itu melihat anaknya bersembahyang, seperti orang yang sedang mengagumi sesuatu. Mahesa Jenar menjadi heran. Bukankah sembahyang itu harus dilakukan setiap hari, bahkan lima kali dalam keadaan wajar? Bahkan orang tua itu kemudian bergumam, ”Tuhan telah menerangi hatinya.”Mahesa Jenar menjadi semakin heran, maka bertanyalah ia, ”Bukankah sudah seharusnya dilakukan, Ki Ageng?”Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, ”Aku hampir saja putus asa. Lembu Sora lebih senang mengadu ayam dan berjudi daripada mendekatkan diri kepada Tuhan. Beberapa tahun terakhir, ia seolah-olah sudah lupa sama sekali akan kewajiban itu. Syukurlah, kini ia telah menemukan jalannya. Tetapi...” kata-kata orang tua itu terputus oleh tarikan nafasnya. ”Tetapi...”Tidak dengan sengaja Mahesa Jenar mengulangi kata AGENG Sora Dipayana memandangi wajah Mahesa Jenar dengan mata yang suram. Terasa ada sesuatu yang menghimpit hatinya. Tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana melangkah kembali untuk membersihkan dirinya. Mahesa Jenar pun tidak bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti saja langkah orang tua itu sambil berdiam mereka bertemu dengan Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana bertanya, ”Dari mana kau Arya?”Arya berhenti, kemudian ia menjawab, ”Sesuci Eyang.” Orang tua itu mengangguk- anggukkan kepalanya. Katanya, ”Bagus. Di mana adikmu Sawung Sariti?” Arya Salaka menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya, ”Aku tidak melihatnya, Eyang. Barangkali ia bersama-sama Paman Lembu Sora.””Kalau kau bertemu dengan anak itu nanti, berilah ia beberapa petunjuk. Ajaklah ia kembali kepada Yang Maha Kuasa,” pinta orang tua itu.”Baiklah Eyang,” jawab Arya. Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana dan Mahesa Jenar pergi pula ke pancuran dari sumber air di bawah pohon beringin tua.”Angger Mahesa Jenar agaknya beruntung dapat membawa Arya Salaka ke jalan yang gemilang, lahir dan batin. Tanpa keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah kekecewaan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itulah segera Mahesa Jenar mengerti, bahwa Ki Ageng Sora Dipayana sedang mencemaskan nasib cucunya, Sawung Sariti. Malam itu, ketika semuanya telah selesai, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka dengan nikmatnya menyuapi mulut masing-masing dengan nasi hangat dan serundeng kelapa seperti pagi meskipun demikian, karena letih dan lapar, maka terasa seolah-olah hidangan yang dimakannya itu adalah hidangan yang seenak-enaknya. Mereka duduk-duduk di antara laskar mereka, di sekeliling perapian untuk menghangatkan diri. Beberapa kali terdengar suara Bantaran, Penjawi, Jaladri dan beberapa orang lain tertawa ketika ia mendengar Sendang Papat itu memang pandai berkelekar. Namun lambat laun suara tertawa merekapun semakin jarang dan lambat. Kemudian mereka tidak dapat menahan kantuk mereka. Diatas anyaman daun kelapa mereka merebahkan diri. Tidur sambil memeluk senjata masing-masing. Arya Salaka kemudian tertidur pula. Begitu nyenyaknya dibuai oleh mimpi yang segar. Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara akan merebahkan dirinya pula, mereka dikejutkan oleh langkah seseorang mendekati mereka menoleh dilihatnya Lembu Sora datang kepada mereka. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bangkit, sambil mempersilahkan, ”Marilah Ki Ageng.”Lembu Sora mengangguk hormat dengan tulusnya. Berbeda dengan saat-saat yang lampau. Kemudian merekapun duduk pula didekat perapian yang masih menyala-nyala itu. ”Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati...” Ki Ageng Lembu Sora mulai, ”Aku memerlukan datang kepada kalian berdua untuk memohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah aku lakukan, lebih-lebih kepada Adi Mahesa Jenar dan apabila aku masih sempat untuk bertemu karena kepalaku tidak terpenggal pedang Jaka Soka besok pagi, aku akan bersujud pula di bawah kaki Kakang Gajah Sora. Betapa besar dosa yang telah aku lakukan. Atas ayah Sora Dipayana, Kakang Gajah Sora dan lebih-lebih lagi atas Pamingit dan Banyubiru.”Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar pengakuan itu, dan terasa betapa ikhlasnya Lembu Sora memandang kepada diri sendiri. Udara malam terasa dingin, namun kehangatan yang dilemparkan oleh perapian di samping mereka terasa betapa nyamannya. Sebelum Mahesa Jenar menjawab, Lembu Sora meneruskan, ”Dalam keadaan-keadaan yang sulit seperti apa yang aku alami sekarang, baru dapat aku lihat, betapa noda-noda telah melekat pada masa lampau itu. Mudah-mudahan aku belum terlambat.”Lembu Sora diam sesaat menelan ludah yang seolah-olah menyumbat kerongkongan. ”Tetapi Kakang, apabila besok aku terbunuh dalam mempertahankan tanah ini, biarlah Kakang menyampaikan rasa penyesalanku kepada Kakang Gajah Sora kelak.””Tak ada kelambatan untuk menyatakan kesalahan diri,” sahut Mahesa Jenar. ”Meskipun aku belum lama berkenalan, namun aku tahu bahwa dada Kakang Gajah Sora adalah seluas samodra. Karena itu, kalau Ki Ageng menyatakan penyesalan diri dengan ikhlas, maka Kakang Gajah Sora pun pasti akan memaafkannya.””Ya...” Lembu Sora menjawab, ”Aku tahu itu. Aku sadar betapa Kakang Gajah Sora memanjakan aku sejak masa kanak-kanak kami. Tetapi apa yang aku lakukan telah melampaui batas. Aku telah sampai pada usaha untuk membunuhnya atau meniadakannya. Bahkan membunuh anaknya yang tak mengetahui sama sekali persoalan di antara kami. Syukurlah bahwa Tuhan membebaskan aku dari pembunuhan- pembunuhan itu.””Hal itu tidak akan mengurangi kelapangan dada Kakang Gajah Sora,” kata Mahesa Jenar seperti kepada anak-anak yang betapa miskin jiwanya dalam menanggapi hidup dan kehidupan.””Tetapi kalau aku tidak sempat karena aku terbunuh...?” Lembu Sora bertanya benar- benar seperti orang yang sedemikian bodohnya.”Tidak,” jawab Mahesa Jenar, ”Meskipun hidup dan mati berada di tangan Tuhan, namun berdoalah agar Tuhan menyelamatkan Ki Ageng Lembu Sora. Saat ini Kakang berada di pihak yang benar. Karena itulah maka kami dan Arya Salaka bersedia berdiri di pihak Ki Ageng. Dan karena itu pula Tuhan akan melimpahkan rahmat-Nya.”LEMBU SORA terdiam. Matanya yang muram, merenungi api yang sedang menjilat- jilat ke udara dengan lincahnya. Tetapi di dalam nyala yang seolah-olah menari- nari itu dilihatnya betapa kelam masa-masa lampau yang pernah dijalaninya. Ketamakan, kebencian, pemanjaan nafsu lahiriah, dan segala macam sifat-sifat yang tercela. Dilihatnya betapa dirinya duduk di atas singgasana Demak, dengan Kyai Nagasasra di tangan kanan dan Kyai Sabuk Inten di tangan kiri. Sedang kakinya beralaskan bangkai Ki Ageng Gajah Sora dan Arya Salaka, dan sekitarnya berserak-serakanlah bangkai-bangkai orang Banyubiru. Pandan Kuning, Sawungrana dan ia menjadi ngeri pada gambaran cita-citanya waktu itu. Dengan tanpa disengaja maka kedua tangannya diangkatnya menutupi wajahnya. Akhirnya wajah itu tertunduk lesu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengetahui betapa rasa penyesalan bergolak di dalam dada Ki Ageng Lembu Sora. Betapa ia mengutuki dirinya sendiri yang telah tersesat terlalu jauh. Untunglah bahwa akhirnya ditemukannya jalan sesaat suasana dicekam oleh kesepian. Malam menjadi semakin dalam dan sepi. Namun terasa di sana sini para pengawas dan para penjaga bekerja dengan tekunnya. Di tangan mereka terletak tanggungjawab atas keselamatan perkemahan Pangrantunan. Sebab tidaklah mustahil laskar golongan hitam itu menyerang mereka pada malam hari ketika mereka sedang nyenyak Arya Salaka menggeliat. Ketika ia membuka matanya, ia melihat pamannya Lembu Sora duduk bersama-sama dengan gurunya dan Kebo Kanigara. Karena itu iapun segera bangkit dan duduk pula. Lembu Sora melihat Arya bangun dekat di sampingnya. Tiba-tiba terasa betapa hatinya bergelora. Dan tiba-tiba pula dengan serta merta diraihnya kepala anak muda itu seperti masa anak-anak dahulu.”Arya...” desisnya, ”Maafkan pamanmu.” Arya pun merasa betapa hatinya bergetar mendengar kata-kata pamannya. Karena itulah maka mulutnya menjadi seolah-olah terkunci. Namun hatinya berkata, ”Aku akan berusaha melupakannya, Paman.” Kemudian ketika kepala itu dilepaskan, mata Arya menjadi panas. Seolah-olah ada yang berdesakan hendak meloncat keluar. Karena itulah maka ditengadahkan kepalanya ke langit. Sedang Ki Ageng Lembu Sora pun menarik nafas suasana terlempar ke dalam heningnya malam. Dan kembali Lembu Sora berangan-angan. Kini yang bergolak di dalam hatinya adalah anaknya, Sawung Sariti. Ia menyesal telah membawa anak itu lewat jalan yang penuh dengan noda dan dosa. Apalagi ketika ia sadar bahwa sampai saat ini anak itu masih tetap dalam pendiriannya. Karena itu kemudian ia berkata, ”Arya, di manakah adikmu?”Arya memalingkan kepalanya. Ia mendengar pertanyaan yang serupa dari eyangnya tadi. Maka iapun menjawab, ”Aku tidak tahu, Paman. Tadi eyangpun menanyakan Adi Sawung Sariti. Aku kira Adi bersama-sama dengan Paman.”Kembali penyesalan melonjak-lonjak di dalam dadanya. Pasti anak itu pergi dengan Galunggung. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai harga diri dan kesopanan dalam tata pergaulan manusia. Tetapi kembali Lembu Sora menimpakan kesalahan pada diri sendiri. ”Mudah-mudahan ia terbentur pada kenyataan ini seperti aku sendiri,” gumam Lembu Sora, lebih-lebih ditujukan kepada dirinya kepada Arya Salaka ia berkata, ”Arya, adikmu telah terlampau jauh tersesat seperti aku. Namun aku masih dapat melihat kenyataan ini. Mudah-mudahan Sawung Sariti pun demikian. Dapatkah kau membantu aku membawanya kembali ke jalan yang benar?””Mudah-mudahan, Paman,” jawab Arya, meskipun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa adik sepupunya itu sedemikian membencinya, jauh lebih dalam daripada pamannya itu sendiri. Namun demikian ia berjanji untuk berusaha. Dalam pada itu, tiba-tiba datanglah Wulungan. Dengan heran ia melihat Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka masih enak-enak duduk di situ. Apakah ia belum mendengar laporan yang disampaikan oleh beberapa orang pengawas? Tetapi karena persoalannya sedemikian penting, maka Wulunganpun tidak segan- segan iapun kemudian duduk pula di samping perapian itu sambil bertanya kepada Mahesa Jenar, ”Tuan, apakah Tuan telah mendengar laporan para pengawas?”Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. ”Belum Wulungan,” jawabnya. ”Laporan tentang apa?” ”Ataukah laporan ini disampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana? Namun meskipun demikian, Ki Ageng Sora Dipayana pasti segera memberitahukan kepada Tuan dan Angger Arya Salaka,” sambung Wulungan.”Penting sekalikah laporan itu?” tanya Arya.”Ya, sangat penting bagi Angger,” jawab Wulungan. ”Kalau demikian...” ia melanjutkan, ”Biarlah aku panggil orang itu.”Wulungan segera berdiri dan berjalan dengan tergesa-gesa. Yang ditinggalkan di tepi perapian itupun bertanya-tanya di dalam hati. Sesaat kemudian Wulungan kembali bersama seorang pengawas dari orang itu duduk pula, dan berkatalah ia, ”Inilah orang yang menyampaikan laporan itu, Tuan.”Lembu Sora memandangi orang itu dengan seksama. Kemudian berkatalah ia, ”Katakanlah apa yang kau lihat?”Orang itupun mengingsar duduknya. Kepada Ki Ageng Lembu Sora ia berkata, ”Aku adalah salah seorang yang mendapat tugas untuk mengawasi perkemahan laskar golongan hitam. Aku telah melaporkan segala sesuatu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.”Wulungan tiba-tiba mengangkat dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak pada itu tidak diteruskan kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar atau Ki Ageng Sora SORA mengerutkan keningnya. Seperti Wulungan, ia dapat menduga kelicikan anaknya. Namun sekali lagi dadanya dihantam oleh kegelisahan, penyesalan yang tiada taranya. Seolah-olah terdengar suara berdesing ditelinganya. ”Kau jangan salah, Lembu Sora. Anak itu memang kau didik demikian.” ”Di mana Sawung Sariti dan Galunggung itu?” tanya Lembu Sora menggeram. ”Aku temui mereka di pojok teras. Mereka baru saja keluar dari rumah Kakang Badra Klenteng Pangrantunan,” sahut orang itu.”Apa kerjanya di sana?” Tiba-tiba mata Lembu Sora terbelalak. Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Karena orang itu tidak menjawab, Lembu Sora mendesaknya, ”He, apa kerjanya di sana?”Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api yang memercik dengan riangnya. Kebenciannya kepada anak kepala daerah perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala seperti nyala api yang dipandangnya itu. Badra Klenteng adalah orang yang sekotor- kotornya di rumahnya ada dua tiga orang gadis. Bukan gadis, tetapi yang disebutnya gadis penari. Penari tayub yang terkenal. Bukan terkenal karena keindahannya menari, tetapi terkenal karena keberaniannya menari. Menari dalam tataran yang melanggar tata kesopanan dan pengawas itupun menjadi semakin tunduk. Ia tahu apa yang harus dikatakan. Tetapi mulutnya terkunci. Sehingga dengan demikian ia tetap berdiam diri. Akhirnya terdengar Lembu Sora menggeram, ”Bagus, jangan kau katakan kepadaku sekarang apa yang dikerjakan oleh anak itu. Terkutuklah mereka. Aku tidak tahu kemana mukaku aku sembunyikan kalau Adi Mahesa Jenar, Kakang Putut Karang Jati dan Arya Salaka tahu apa yang dikerjakan di sana. Tetapi apakah laporan itu?””Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya?” tanya pengawas itu. Lembu Sora menggelengkan kepalanya.”Belum.” ”Agak terlambat,” katanya. ”Aku telah melihat beberapa waktu yang lalu.””Ya, apakah itu?” desak Arya Salaka tidak sabar. ”Aku lihat serombongan kecil orang- orang berkuda meninggalkan perkemahan mereka. Mereka menuju ke utara,” jawabnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka mendesak maju sambil bertanya, ”Siapakah mereka?””Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke Banyubiru,” jawabnya.”He...!” Arya hampir berteriak. ”Kau tahu benar?” ”Aku mengikuti beberapa langkah,” jawabnya. ”Karena itu aku yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga Banjar Gede, mereka membelok ke timur.””Pasti ke Banyubiru,” desis Arya.”Akupun pasti,” sahut pengawas itu, ”Tetapi aku tidak dapat mengikutinya terus. Ketika salah seekor kuda mereka berhenti, akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang telah melihat aku. Sehingga ketika kudanya berputar, akupun memacu kudaku pula meninggalkan mereka. Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga aku tak ditangkapnya. Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu penjagaan. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pengejarku itu. Namun aku kemudian langsung melaporkan peristiwa itu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.””Gila,” desah Lembu Sora. ”Sawung Sariti dan Galunggung tidak menyampaikan itu kepadaku, kepada ayah Sora Dipayana atau kepada Kakang Mahesa Jenar.””Wulungan...” tiba-tiba Lembu Sora berteriak, ”panggil mereka!”Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati, segera bangkit. ”Baik Ki Ageng,” jawabnya. Dan iapun kemudian hilang di dalam gelap.”Siapakah mereka itu?” tanya Arya Salaka.”Aku tidak tahu,” jawab orang itu. ”Tetapi aku kira salah seorang di antaranya adalah orang yang berjubah abu-abu.””Pasingsingan...?” desis mereka bersamaan Tiba-tiba meloncatlah Arya Salaka dari tempat duduknya. Tanpa berkata apapun juga ia berlari kencang-kencang.”Arya...” panggil Mahesa Jenar, ”Apa yang akan kau lakukan?””Kuda!” Hanya kata-kata itulah yang meloncat dari bibirnya. Mahesa Jenar yang tahu betapa watak muridnya itupun kemudian berdiri pula sambil berkata kepada Ki Ageng Lembu Sora, ”Adi, tolong sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, kami mendahului perintah supaya tidak terlalu lambat.”Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia tidak sampai hati melepaskan Arya Salaka berdua dengan Mahesa Jenar saja. Kalau di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel Kaliki dan Sura Sarunggi, maka celakalah Arya Jenar sendiri mungkin dapat mempertahankan dirinya beberapa lama meskipun ia harus berhadapan dengan dua tokoh hitam itu sekaligus, namun bagaimana dengan Arya? Karena itu ia berkata, ”Mahesa Jenar, aku pergi bersamamu.””Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar singkat. Iapun sadar akan bahaya yang setiap saat dapat mengancam keselamatan muridnya. Justru pada taraf terakhir dari perjuangannya. Bersambung-mSerial Bersambung 04 November 2000 Diambil Dari Harian Kedaulatan Rakyat- Yogyakarta NAGASASRA DAN SABUK INTEN Karya SH. Mintarja No. 610BANTARAN, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat telah terbangun pula. Dengan gelisah ia bertanya, ”Ada apa Tuan-tuan?” ”Aku akan pergi sebentar, Bantaran. Jagalah laskar baik-baik. Tempatkan dirimu langsung di bawah perintah Ki Ageng Sora Dipayana apabila besok pagi-pagi aku belum kembali,” kata Mahesa Jenar dengan tergesa-gesa. Ia tidak sempat memberi banyak penjelasan. ”Aku titipkan laskar Banyubiru kepadamu Ki Ageng,” katanya kepada Lembu Sora.”Baik Adi,” jawab Lembu Sora. ”Tetapi tidakkah Adi perlu membawa pasukan?””Tidak,” sahut Mahesa Jenar, ”Di Banyubiru masih ada separo laskar Arya Salaka.” Lembu Sora mengangguk sambil berdiri. Ia tidak sempat berkata-kata lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan tergesa-gesa berjalan mengikuti jalan yang dilewati Arya tadi. Mereka tahu benar ke mana muridnya itu pergi. Arya pasti pergi ke tempat kuda-kuda dipersiapkan. Mereka masih dapat melihat Arya melarikan kudanya seperti angin. Dengan demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera meloncat ke punggung kuda- kuda yang mereka anggap cukup baik. Para penjaga kuda itu memandang mereka dengan mereka dengar hanyalah kata-kata Arya tadi, ”Aku ambil seekor.” Lalu anak itu pergi dengan cepatnya. Sekarang mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun mengambil masing-masing kuda dengan tergesa-gesa. ”Apa yang terjadi Tuan?” tanya seorang penjaga. ”Tidak apa-apa,” jawab Mahesa Jenar, ”Kami sedang berlatih berpacu kuda.”Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak percaya. Meskipun demikian ia tidak bertanya- tanya lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap kakinya berdetak-detak memecah kesepian malam. Beberapa orang yang mendengar suara derap kaki kuda itupun mereka tidak sempat bertanya, apakah dan kemanakah mereka pergi. Meskipun demikian, mereka terpaksa meraba-raba senjata-senjata mereka, kalau-kalau ada hal-hal yang penting akan terjadi di perkemahan itu dengan geram Lembu Sora berjalan ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia benar-benar marah kepada Sawung Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan mereka itu, telah membuka kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengerikan. Sedangkan Bantaran, Jaladri, Penjawi dan Sendang Papat beserta beberapa orang Banyubiru yang lain bertanya-tanya dalam hati mendengar dari Ki Ageng Lembu Sora apa yang terjadi. Tetapi mereka tidak diperkenankan meninggalkan laskar mereka. Karena itu merekapun menjadi gelisah. Apakah yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka menjadi agak tenang ketika mereka sadar bahwa di Banyubiru masih ada Wanamerta, Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan separo dari laskar Banyubiru. Mudah-mudahan mereka dapat mengatasi kesulitan yang akan Ki Ageng Lembu Sora sampai ke tempat Ki Ageng Sora Dipayana dilihatnya Sawung Sariti dan Galunggung telah berada di sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk ke ruangan itu sambil menggeram, ”Apa kerjamu Sawung Sariti?”Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia terkejut. Belum pernah ia melihat mata ayahnya memancarkan sinar yang demikian kepadanya. ”Mungkin ayah sedang marah kepada seseorang,” ternyata Lembu Sora itu memandangnya terus seperti hendak menelannya hidup- hidup.”Duduklah Lembu Sora,” ayahnya mempersilahkan. ”Sawung Sariti sedang menyampaikan kabar yang aku kira penting.”Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun pandangan matanya masih saja melekat kepada anaknya.”Terlambat,” geram Lembu Sora. ”Apa yang terlambat Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana. ”Kabar itu,” jawab Lembu Sora. ”Mungkin sesuatu telah terjadi sekarang di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam.””Sabarlah,” potong ayahnya, Apakah yang sebenarnya terjadi?””Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti?” Lembu Sora ganti bertanya. ”Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam telah meninggalkan perkemahan mereka,” jawab ayahnya.”Ke mana?” desak Lembu Sora.”Ke mana...?” ulang Ki Ageng Sora Dipayana. Sawung Sariti dan Galunggung menjadi Ki Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang terjadi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka terkejut ketika Lembu Sora membentaknya sambil berdiri, ”Kemana? Tidakkah kau sampaikan laporan itu selengkapnya setelah kau ulur waktu hampir seperempat malam supaya segala sesuatu menjadi semakin jelek?”Sawung Sariti menjadi bertambah bingung. Adakah ayahnya bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya ingin menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak kehilangan akal. Karena itu ia menjawab, ”Aku belum selesai ayah. Aku baru menyampaikan sebagian.” ”Berapa lama kau perlukan waktu untuk menyampaikan laporan yang dapat kau ucapkan dengan beberapa kalimat saja?” bentak ayahnya.”Sudahlah Lembu Sora.” Ki Ageng Sora menengahi, ”Biarlah anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum lama datang kepadaku.” Tetapi kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya. Kemarahan yang bercampur- baur dengan penyesalan dan perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi, ”Jadi kau belum lama menghadap eyangmu?”Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia menjawab, ”Ya ayah.” ”Ke mana kau selama ini?” desak Lembu SARITI menjadi ragu. Ia tidak berani berkata kepada ayahnya, dari mana ia pergi, karena ada eyangnya. Biasanya ia tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi terhadap eyangnya, Sawung Sariti tidak berani berterus terang. Karena itu tanpa disengaja ia berpaling kepada Galunggung, seakan-akan minta supaya Galunggung menjawab pertanyaan ayahnya itu. Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena itu ia menjawab, ”Kami dari nganglang daerah medan, Ki Ageng.””Medan mana?” Lembu Sora mendesak pun menjadi ragu. Kenapa Ki Ageng Lembu Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat lampau ia tidak pernah mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya berteriak, ”Kau pergi ke rumah Badra Klenteng kan...?”Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora tentang cucunya itu. Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya benar-benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain. Kemarahan yang belum pernah Galunggung tiba-tiba berkata membela diri, ”Tidak, Ki Ageng. Siapakah yang mengatakan?” Mata Lembu Sora bertambah menyala, ”Kau mau bohong Galunggung. Kau kira aku tidak tahu?” ”Demi Allah,” sahut Galunggung, tetapi ia tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora meloncat dengan garangnya, dan menampar mulut Galunggung sambil berteriak, ”Jangan sebut kata-kata itu. Mulutmu terlalu kotor untuk mengucapkannya.”Galunggung terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh kalau tubuhnya tidak membentur dinding. Ketika ia berusaha tegak kembali, terasa cairan yang hangat meleleh dari mulutnya. Darah merah menyala, seperti kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu. ”Lembu Sora...” Ki Ageng Sora Dipayana memanggil anaknya, ”Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka.”Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia duduk pula di samping ayahnya. Sawung Sariti sama sekali tidak berani menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya yang telah mendengar bahwa ia baru saja pergi ke rumah Badra Klenteng. Tiba-tiba merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya waktu itu. Pengawas yang melaporkan peristiwa orang-orang golongan hitam itu. Demikian juga Galunggung. Berkatalah di dalam hatinya, ”Kalau aku temui orang itu, aku sobek mulutnya dan akan aku kubur ia hidup-hidup.”Ketika Galunggung pun telah duduk kembali dan mengusap darah yang meleleh dari mulutnya dengan lengan bajunya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh, ”Sudahlah Lembu Sora, segala sesuatu bukanlah terjadi dengan tiba-tiba. Apalagi watak dan kelakuan. Sekarang tenangkan hatimu. Hari masih panjang. Mudah-mudahan aku mengalami masa-masa yang cerah. Masa-masa yang cerah bukan bagiku sendiri, tetapi bagimu, bagi cucuku Sawung Sariti, dan bagi cucuku Arya Salaka. Kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka, apalagi bagi anak semuda cucuku Sawung Sariti.”Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia terlempar pada kenyataan akan kesalahan diri. Penyesalan yang memukul-mukul dinding hatinya menjadi semakin deras. ”Nah, Sawung Sariti...” Ki Ageng Sora Dipayana melanjutkan, ”Apakah yang kau katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?”Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun segera tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar ia berkata dengan suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang telah melaporkan keadaan, ”Orang-orang dari golongan hitam itu pergi ke Banyubiru, Eyang.”Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. ”Ke Banyubiru?” ulangnya.”Ya,” jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan yang didengarnya dari pengawas itu. ”Kapan kau dengar laporan itu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana. ”Beberapa saat yang lalu,” jawab Sawung Sariti.”Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada eyangmu?” bentak Lembu Sora. Sawung Sariti tidak menjawab. Galunggung pun tidak. Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di dalam hati, ”Mati kau pengawas gila.”Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada Sawung Sariti ia berkata, ”Panggillah kakakmu Arya Salaka.”Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab, ”Baiklah Eyang.” Sesaat kemudian iapun berdiri, dan bersama-sama dengan Galunggung ia meninggalkan rumah itu. Ketika mereka keluar dari pintu, mereka melihat Wulungan berdiri tegak dengan tangan bersilang dada. Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya, ”Kau lihat Kakang Arya?” Wulungan menggelengkan kepala. ”Tidak Angger.” Kemudian Sawung Sariti melangkah pula dengan tergesa-gesa. Galunggung sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Ketika mereka telah menjauh, Wulungan pun pergi di belakang mereka. Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata, ”Tak akan dijumpai Arya di sini.” Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil menoleh kepada anaknya ia bertanya, ”Kenapa?” ”Arya telah pergi ke Banyubiru belum lama,” jawab Lembu Sora.”He...?” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut. ”Sendiri?””Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati,” sahut Lembu Sora. ”Mengapa?” tanya ayahnya pula.”Ia sudah tahu apa yang terjadi,” jawab Lembu AGENG Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya pula, ”Dari mana anak itu mendengar?””Langsung dari pengawas itu,” jawab Lembu Sora. Diceriterakannya apa yang diketahuinya mengenai pengawas itu, serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula bagaimana Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda dengan tombaknya dalam genggaman. ”Anak itu sadar akan tanggungjawabnya,” desis kakeknya.”Namun sayang ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke Banyubiru itu Pasingsingan? Untunglah Anakmas Mahesa Jenar dan anak Putut Karangjati mengetahuinya, sehingga mereka segera menyusul.”Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa Jenar, bahwa mereka terpaksa mendahului perintah.”Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana. ”Mereka orang-orang yang memiliki firasat dan daya pengamatan melampaui kami semuanya di sini. Bahkan mereka adalah orang-orang sakti yang tak ada bandingnya di antara kita.” ”Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak terlambat,” desah Lembu Sora. ”Mudah-mudahan segala sesuatu tidak menjadi lebih buruk karena pokal dan Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan karena pamrih yang berlebih-lebihan, dan apakah sekarang harus mengalami bencana yang lebih dahsyat lagi?””Tenanglah Lembu Sora,” ayahnya menenangkan. ”Mahesa Jenar dan Putut Karangjati akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Kita belum tahu apa yang harus kita lakukan besok pagi. Suruhlah Sawung Sariti beristirahat pula. Demikian juga seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak pula.” ”Baiklah ayah,” jawab Lembu Sora sambil berdiri. Kemudian iapun melangkah pergi ke pondoknya untuk beristirahat, meskipun kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan yang melonjak-lonjak. Setiap ia berusaha melupakan, setiap kali dadanya bergetar, kenapa bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut. Namun demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan merebahkan dirinya di atas bale-bale bambu yang direntangi tikar saat yang bersamaan, Sawung Sariti sedang mondar-mandir mencari Arya Salaka. Namun sebenarnya yang ingin dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang dianggapnya tumbak-cucukan itu, yang suka melaporkan kesalahan orang lain. Sawung Sariti dan Galunggung sama sekali tidak menyesalkan perbuatan mereka, tetapi mereka menyesalkan pengawas itu. Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk bersandar batang nyiur di antara kawan-kawannya yang berbaring tidur, Sawung Sariti menggeram, ”Jahanam.” Ia mengumpat. Kemudian dengan satu loncatan ia telah berdiri di hadapan pengawas itu sambil membentak, ”He bangsat kau masih di sini?”Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri. ”Kenapa kau tidak kembali ke tugasmu?” bentak Sawung Sariti. ”Seseorang telah menggantikan tugasku,” jawab orang itu kecemasan. ”Bohong!” sanggah Sawung itu menjadi bingung. ”Benar angger,” jawabnya. ”Aku telah bebas dari tugasku itu.””Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara aku dengan Kakang Arya Salaka,” bentak Sawung Sariti. Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung Sariti itu. Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi. Sawung Sariti agaknya menjadi marah kepadanya, karena ia telah berkata sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Mungkin Ki Ageng Lembu Sora itu telah memarahinya. Karena itu ia berkata, ”Angger, jangan menyalahkan aku kalau aku terpaksa mengatakan apa yang aku lihat demi kewajibanku.””Pandainya tikus ini,” potong Sawung Sariti. ”Kau bisa berkata hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata merah atas warna hijau.”Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus dikatakan? Ia menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba Galunggung melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala. Katanya, ”Lihatlah, karena mulutmu yang lancang itu, aku ditampar oleh Ki Ageng Lembu Sora.” Pengawas itu masih tetap berdiam diri. Beberapa orang kawan-kawannya menjadi terbangun karenanya. Tetapi tak seorangpun yang berani mencampurinya. Tiba-tiba Galunggung itu berkata, ”Ikuti aku.””Ke mana?” orang itu menjadi ketakutan. ”Ikuti aku!” bentak itu tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja di belakang Galunggung dan di belakangnya berjalan Sawung Sariti. Dengan gelisah ia mencoba menebak, apakah yang akan dilakukan atas dirinya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah kebenaran yang diucapkannya itu dapat diputar balik sedemikian rupa sehingga ia perlu mendapat hukuman. Galunggung berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka menerobos pagar-pagar halaman dan meloncati dinding desa. Akhirnya mereka sampai di gerumbul-gerumbul kecil di samping desa Pangrantunan itu. Orang itu menjadi semakin cemas. Ketika ia melihat Gunung Merbabu dalam keremangan malam, tampaknya seperti raksasa yang akan itu menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung mencabut pedangnya sambil tertawa menakutkan, katanya, ”Mulutmulah yang pertama-tama harus disobek, lalu kau akan aku kubur hidup-hidup.””Apa salahku?” tanya orang itu gemetar.”Seandainya aku berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku dihukum mati dengan cara demikian. Apalagi aku telah berusaha melakukan pekerjaanku sebaik- baiknya.”SAWUNG SARITI menjawab, ”Baik bagimu tidak selalu baik bagi orang lain. Dengan perbuatanmu itu, nanti kalau terjadi sesuatu di Banyubiru, akulah yang dipersalahkan. Karena itu, kau harus dilenyapkan. Dengan demikian, di hadapan Eyang Sora Dipayana, tak ada seorangpun yang dapat membuktikan kesalahanku.”Pengawas yang malang itu menjadi semakin ketakutan. Ia tidak mengerti kenapa kebenaran sama sekali tidak menjadi pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal kebenaran dari seginya sendiri. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk membela diri. ”Angger Sawung Sariti. Kalau angger mengambil keputusan untuk menghukum aku dengan kesaksianku, maka kesaksianku itu telah diketahui pula oleh Ki Ageng Lembu Sora, Angger Arya Salaka beserta gurunya serta sahabat gurunya yang telah berhasil membunuh mati orang sakti dari Nusakambangan.”Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Ia mengumpat di dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat sahabat-sahabat yang sedemikian saktinya, sehingga sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaannya?Namun ia menjawab, ”Aku dapat menyangkal kesaksian-kesaksian itu. Kau sangka ayahku itu akan membenarkan kesaksianmu? Setidak-tidaknya aku dapat memperpendek waktu yang hilang sejak kau memberikan laporan itu kepadaku sampai waktu yang aku pergunakan untuk menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana.””Kau tak usah terlalu banyak bicara,” potong Galunggung. ”Nikmatilah udara terakhir ini sebaik-baiknya. Sesudah itu, kau tak akan mengenalnya lagi.”Pengawas itu menjadi semakin gemetar. Namun ia berkata, ”Kalau ada akibat yang kurang baik bagi kalian berdua, bukankah itu bukan salahku. Kalau kalian tidak sengaja memperlambat berita itu, maka segala sesuatu akan menjadi baik.” ”Tutup mulutmu!” bentak Galunggung.”Kau tak perlu mengigau pada saat-saat terakhir.” Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain didalam dada pengawas itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali telah pernah dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat. Sekarang kenapa ia takut menghadapi pedang. Ia merasa berpijak di atas kebenaran. Kalau ia terpaksa, apa boleh buat ia telah dipepetkan ke suatu sudut dimana ia harus mempertahankan sesuatu terselip di ikat pinggangnya. yang berdiri di hadapan dua orang yang sama sekali di atas kemampuannya untuk melawan, namun ia tidak mau mati seperti tikus di tangan seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk membebaskan diri. Kalau perlu ia akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya, sambil melawan yang telah terbakar oleh kemarahannya, menjadi kehilangan garangnya ia melangkah maju sambil menggeram, ”Jangan melawan, sebab kalau kau melawan berarti akan memperlambat saat-saat kematianmu. Derita yang terakhir adalah selalu tidak menyenangkan.”Tetapi pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia meloncat mundur sambil menarik kerisnya. Melihat orang itu menarik senjatanya. Galunggung tertawa. ”Benar- benar kau sedang sekarat.”Kemudian sambil tertawa ia melangkah tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara yang sama sekali tak diduga oleh mereka. Tenang, namun penuh pengaruh. Katanya, ”Aku adalah satu-satunya saksi yang melihat kebenaran diinjak-injak.”Seperti disambar petir, Galunggung dan Sawung Sariti mendengar kata-kata itu. Ketika mereka menoleh, dilihatnya Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada. Pedangnya tergantung di lambung Sariti menjadi gemetar karena marahnya. Sambil melangkah maju ia berkata, ”Paman Wulungan, kau berani mengganggu pekerjaanku?””Tidak Angger,” jawab Wulungan tanpa bergerak.”Tidak...?” sahut Sawung Sariti, ”Lalu apa yang Paman kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu bermanfaat untuk melawan aku? Kau tahu, bukankah aku murid Sora Dipayana?””Ya. Aku tahu bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan.”Kau tahu bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung berdua dengan anak buahnya?” desak Sawung Sariti.”Ya.””Kau tahu bahwa aku adalah putra kepala daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru sekaligus?””Ya.””Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Sawung Sariti sambil mengangkat menjawab, ”Tidak apa-apa. Aku tidak akan melawan Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak melakukannya. Aku hanya ingin tahu, apa yang akan Angger lakukan di sini?””Apa kepentingamu? Dan apa pedulimu?” bentak Sawung Sariti.”Setiap orang berkepentingan atas tegaknya kebenaran. Aku yang membawa pengawas itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta kepadanya untuk mengulangi laporannya.””Hem...” geram Sawung Sariti. ”Kau adalah saksi yang kedua sesudah orang ini. Kalau begitu bagaimana kalau kau aku bunuh sekalian?"”Itu adalah urusan Angger Sawung Sariti,” jawab Wulungan masih setenang tadi. ”Kau akan melawan seperti tikus ini?” desak Sawung Sariti.”Tidak,” jawab Wulungan.”Tak ada gunanya. Tetapi pernahkan Angger mendengar aku berlomba lari? Aku adalah pelari tercepat dari setiap kawan-kawanku, baik pada masa kanak-kanakku, maupun kini.””Gila!” umpat Sawung Sariti. ”Kau bukan seorang jantan.””Aku memang bukan seorang jantan,” jawab Wulungan.”Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Aku wajib menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku mati, maka kebenaran ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi kalau aku lari selamat, bukankah aku dapat memberitahukannya kepada Ki Ageng Sora Dipayana...?””Gila, Gila....” Sawung Sariti mengumpat tak habis-habisnya. Ketika itu Galunggung mencoba mengingsar dirinya, untuk menutup kemungkinan Wulungan kepada pengawas itu.”Ki Sanak, baiklah kita berlomba lari. Jangan melawan. Kalau Adi Galunggung melangkah satu langkah lagi, perlombaan akan dimulai tanpa pembicaraan lain.”Langkah Galunggung terhenti karenanya. Kalau Wulungan benar-benar melarikan dirinya saat itu, dan orang yang pertama itu melarikan diri pula, akan sulitlah untuk menangkap kedua-duanya. Salah satu atau keduanya mungkin akan dapat melenyapkan dirinya di dalam gerumbul-gerumbul yang berserak-serak itu, atau berteriak-teriak minta tolong sehingga apabila terdengar oleh laskar Banyubiru, persoalannya akan menjadi sulit.”Setan,” gumam Galunggung menahan marah yang memukul-mukul dadanya. Sawung Sariti menjadi semakin marah. Dengan gigi gemeretak ia berkata, ”Lalu apa yang kau kehendaki Wulungan?” Wulungan menarik nafas. Tangannya masih terlipat di dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Dengan perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, Wulungan menjawab, ”Tidak banyak Angger. Aku menghendaki orang itu Angger bebaskan dari segala tuntutan pribadi. Sebab Angger memandang persoalannya dari kepentingan diri sendiri.””Gila, kau licik seperti demit.” Sawung Sariti mengumpat. ”Kita semua adalah orang- orang yang licik. Penuh nafsu tanpa pengendalian,” jawab Wulungan. Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya, ”Kepalamu memang harus dipenggal.”Tetapi Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan kata-katanya, ”Kau dengar Angger melepaskan orang itu, maka aku berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun juga, apa yang terjadi sekarang di sini. Orang itupun tidak akan membuka mulutnya pula.” Kemudian kepada pengawas itu Wulungan berkata, ”Begitu kan...?”Pengawas itu mengangguk kosong, meskipun hatinya bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu. Sekali lagi Galunggung menggeram. ”Apa jaminanmu?””Tidak ada,” jawab Wulungan cepat.
nogososro sabuk inten jilid 10